Amazon

marketiva

Thursday, January 8, 2009

JURNAL TODDOPULI:

LAKSMI PAMUNTJAK DI "SEPULUH JAM UNTUK SASTRA INDONESIA" DI PARIS

07 Desembzer 2008

Pada titik ini saya ingin kembali kepada Pramoedya Ananta Toer. Kita tahu, bagi setidaknya tiga generasi bangsa Indonesia , ia—dalam kata-kata Goenawan Mohamad—adalah sang “penggubah epos” par excellence. Tapi kitapun tahu bahwa Pramoedya adalah sebuah epos tersendiri: selama hampir satu dasawarsa ia terpasung bersama 12.000 orang tertuduh seperti dirinya, di sebuah pulau jauh dan terpencil. Ketika rezim Orde Baru berusaha menghapus sejarah dan menulis ulang segala apa yang bukan dirinya, Pramoedya melawan “lupa” dengan menulis, antara lain, sebuah memoar, dan magnum opusnya, empat-serangkai novel sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Tetralogi Buru.

Pramoedya, yang lahir tahun 1925, adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengalami “kegairahan mencari kebebasan personal” tahun 1945. Karya-karya awalnya mewakili avontur pasca-kolonial dalam penulisan Melayu yang meledak di Batavia sebelum 1900; sementara karya-karyanya kemudian harus dibaca sebagai upaya sastra Batavia untuk menerapkan gagasan-gagasan besar pasca-kolonialisme seperti koherensi, kanon dan standard.

Menurut Henk Maier, secara keseluruhan, karya-karyanya—dari Krandji dan Bekasi djatoeh (1947) sampai Arok Dedes (1999)—melukiskan ketegangan antara fragmen dan kesatuan, evokasi dan representasi, pengalaman dan kenangan, pendeknya segala ketegangan yang telah melajukan sastra Melayu pascakolonial semenjak awal mula percetakan pada tahun 1880. Menulis adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang berakhir dengan sebuah produk akhir.

Dalam prosa Pramoedya akan kita temukan tak hanya simile dan metafora yang seakan tak terkait, tapi juga gramatika yang kikuk dan “salah tempat”, kalimat “tanpa aturan, tanpa rencana”, frasa-frasa yang terkesan seperti upaya menjadikan dunia masuk akal, ketimbang mencari apa yang masuk akal mengenai dunia: ia adalah semacam gagap yang dipacu oleh gairah berkisah.

Dalam Mereka yang dilumpuhkan, sebuah reportase tentang kehidupan di dalam penjara yang diterbitkan tahun 1951, Pramoedya menulis, “Aku tak tahu bahasaku sendiri! Sungguh! Dan orang bilang itu nasib.” Dan pernyataan itu masuk akal dalam konteks Pramoedya: bahasa Melayu, bahasa tulis di Batavia dan selanjutnya di Djakarta , adalah bahasa kedua bagi kebanyakan orang. Tiba-tiba ia dinamakan bahasa Indonesia , bahasa pemersatu. Ia adalah bahasa yang terbuka dan heterogen, sebuah potensi yang belum terpenuhi. Ia adalah bahasa mimpi dan gairah. Ia adalah sebuah ide—dan sesuatu yang ideal—sebagaimana nasion yang harus ditopangnya. Dalam prosa Pramoedya, kita sadari bahwa pikiran, suasana jiwa dan laku manusia menguasai cerita, mengesampingkan alam, meniadakan yang abstrak. Ia subyek yang senantiasa hadir dalam dunia verbalnya sendiri, sebuah kesadaran yang menghentak di setiap kalimat.

Pramoedya adalah seorang humanis, dan humanisme itu tak pernah lebih kental ketimbang di dalam diri Nyai Ontosoroh, tokoh utama Bumi Manusia. “Dalam penelitian saya atas Bahasa Jawa Kuno,” tulisnya suatu kali, “Saya menyadari bahwa posisi manusia lebih tinggi dari para dewa.” Ia percaya pada ide manusia yang perkasa. Oleh karenanya, mengutip Goenawan Mohamad, prosa Pramoedya tak jarang sebuah pergulatan bersimbah peluh ‘aku-manusia’ dengan ‘rumah-penjara bahasa’.

Tapi tak berlebihan kiranya apabila saya mengatakan bahwa karya-karyanya terkuat dan paling menyentuh adalah yang terilhami masa kecilnya di Blora. Detail otobiografi dalam kisah-kisah Blora memberi sesuatu yang lebih elemental kepada prosa Pramoedya. Mungkin sebuah kehangatan, atau kerendah-hatian. Pertautan dan ketegangan antara lupa dan mengenang berlangsung dekat, akrab, intens.

Dalam roman Bukan Pasar Malam, perjalanan si “aku”, seorang anak revolusi yang idealis, pulang kampung untuk menengok ayahnya yang sakit parah, sarat imaji kebengisan manusia: bagaimana di sawah-sawah di Cakung “kapal capung Belanda melempari petani dengan granat tangan”, bagaimana “di rumput-rumput itu pula sebagian dari kawan-kawan yang mempertahankan garis jalan kereta api dulu menggelepak gugur, dan darahnya menyirami rumput yang menghijau selalu itu”, bagaimana kala bertiarap di bawah sebuah pohon besar, ia lihat sebuah—dua buah, tiga, empat, lima —peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri”.

Tapi imaji-imaji ini tak sekadar terbit dari alam khayal, atau dihimpun dari rangkaian pengalaman orang lain. Lebih dari itu semua, mereka adalah keping-keping kenangan sang penulis, dan oleh karenanya menyiratkan warna, aroma, dan metafora yang hidup. Alam bukan sekadar latar tapi sesuatu yang diinternalisasi, menjadi bagian manusia, sebagaimana alam tampil dalam sajak-sajak Rilke.

“Darah. Kurban. Bangkai.” tulis Pramoedya, mengingatkannya kepada “surat, paman, dan ayah.” Desa Lemah Abang mengingatkannya kepada “hasil luar biasa dari penembakan Belanda: empat domba gugur di depan kandangnya.” Dikisahkannya pemandangan yang memilukan: “seekor domba tua, bunting, dengan mata merenungi langit, kepada tersandar pada cabang tonggak cancangan—dan domba itu sudah mati.”

Meski tak jarang dengan struktur kalimat yang ganjil dan gagap—“Zaman itu adalah ‘jaman senja yang mengayunkan dan kadang-kadang mengejuti’, “umur manusia pun bertetesan terhambar di tiap sudut bumi dan hilang takkan tertemui lagi”—dan pokok pikiran yang acap diulang-ulang, percikan dunia interior sang penulis tak saja mengungkai nilai dan hubungan sosial, tapi sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Ini terlihat dalam pikiran si-“aku” ketika menggambarkan makna simbolis dan sosiologis sumur di desa kelahiran si-“aku”: “Orang yang membuat sumur adalah orang yang berwakaf di tempat kami—dia akan mendapat penghormatan penduduk: sedikit atau banyak. Dan kalau engkau punya sumur di sini, dan sumur itu kau tutup untuk kepentingan sendiri, engkau akan dijauhi orang dan dicap kedekut.” Tapi diceritakan juga bahwa hal itu memengaruhi nasib si-“aku” sebagai anak sulung sekaligus panutan keluarga. Atau simak saat si-“aku” berbicara tentang pentingnya guru: “Kalau di antara limapuluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate?”

Lebih jauh lagi, guru diperlakukan sebagai kategori manusia lebih tinggi ketimbang seorang “nasionalis”. Seakan seorang guru tak bisa menjadi seorang “nasionalis” sekaligus. Seakan keduanya kata benda yang sejajar. (dan kita bertanya-tanya: apakah ini cara pandang Pramoedya sendiri tentang guru?)

Lebih dari sekadar analisa sosial, yang ditunjukkan Pramoedya di sini, lewat sosok si-“aku”, adalah guru bukan saja sebagai ide atau sebuah profesi mulia, tapi sebagai bagian integral dari perjuangan, untuk menumbuhkan benih kebebasan, untuk membangun “Indonesia” yang belum datang tapi yang identik dengan kemerdekaan. Guru, sebagaimana banyak hal dalam cakrawala Pramoedya, adalah bagian dari “nasion” – sebuah “komunitas yang dibayangkan” (imagined community), seperti kata Benedict Anderson, tapi juga tumpuan harapan sekaligus masa depan.

Dalam suratnya pada Setyaning Rakyat, anak ketiga dari istri keduanya, Pramoedya menulis: “Revolusi Indonesia mewakili tak hanya kaitan di dalam evolusi manusia dan sosial; tak hanya penataan ulang yang Lama dan Ringkih, tak hanya momentum titik alih; dan tak hanya pembangunan kondisi-kondisi baru di atas puing-puing kehancuran … ia mewakili emansipasi: dibukanya ruang baru bagi rumah kemanusiaan …”

Semangat ini terlihat juga dalam Cerita dari Blora, kumpulan cerita pendek yang ditulis Pramoedya antara 1945 dan 1949, semasa di dalam dan selepas penjara Belanda di Bukit Duri. Pramoedya tak saja menyajikan sederet kisah sedih keluarga-keluarga yang didera derita dan putus asa sebagai potret zamannya, tapi ia juga, sekali lagi, menghadirkan ‘aku’ yang mengenang tokoh ‘ayah’ – seorang abdi revolusi yang gigih.

Di tahun 1930-an itu Blora berubah. ‘Di waktu-waktu itu nampak … olehku adanya kegugupan yang meraba kehidupan kota kecil kami.’ kata si anak dalam cerita pendek “Kemudian Lahirlah Dia.” Orang berbondong-bondong mendirikan perkumpulan sepakbola dan kesenian, meski sebenarnya ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi: retorika aktivis pergerakan nasional seperti Sukarno, gema ‘kebangunan Asia ’, dari gelap terbitlah terang.

Seperti dalam Bukan Pasar Malam, ide sekolah dan pendidikan sangat penting. Si ayah mendirikan sebuah sekolah yang lalu menjadi pusat pergerakan di mana orang berdatangan untuk apa saja: belajar baca-tulis, atau ikut ‘kursus politik’, ‘kursus guru’.

Tapi itu tak lama. Polisi kolonial memberhentikan aktivitas Rumah jadi sepi, dan sang ayah kehilangan semangat hidup. Ia tak ingat pulang dan merusak diri dengan berjudi – seperti ayah yang sakit keras dan akhirnya meninggal dalam novel Bukan Pasar Malam. Ketika akhirnya ia menengok bayinya yang lahir, si ibu berkata: ‘Dia takkan mendapat apa-apa dari kau. Juga tidak dari tempat dan zamannya. Dia akan tumbuh sendiri’.

Dan inilah kalimat penutup: ‘Tapi matari akan terbit lagi di ufuk timur’.

Tapi memang zaman itu menuntut klise. Kita teringat bagaimana si-“aku” dalam Bukan Pasar Malam menatap istrinya dalam perjalanan pulang. Pandangannya tertumbuk pada mata istrinya yang “dulu bagus dan yang kini tak menarik hatiku lagi itu”. Lalu ia teringat seorang perempuan cantik di sebuah dusun yang sedang mereka lalui, anak seorang tuan tanah yang ia bayangkan “seorang blaster. Dan bapaknya berjanji padaku: kalau bapak mengawini anakku, bapak tak perlu kerja. Sawah cukup luas. Dan bapak boleh mengambil separoh dari sawah-sawahku.”

Tentu saja, ini lagu lama: si-“aku” merasa terjajah dan terkungkung oleh yang-Lama, dan ingin adanya perubahan. Ia ingin menyongsong zaman baru, cinta baru, hidup baru. Kekecewaan dan fantasi selamanya bagian dari psike manusia selaku subyek dalam proses.

Bagaimana pun, klise ini terkesan lebih menyentak, terutama apabila kita mengaitkan detail manusiawi ini dengan apa yang kita ketahui tentang hidup Pramoedya.

Dalam suratnya untuk anak keempatnya, Astuti (Tieknong adalah nama panggilannya) , ia bercerita dengan lapang dan terus terang tentang riwayat percintaannya dengan ibunya, Maiemoenah Thamrin, yang kemudian menjadi istri keduanya. Mereka bertemu tahun 1954, ketika Pramoedya masih berstatus menikah, tapi juga lama tak bahagia dalam perkawinannya yang pertama itu.

“Maiemoenah Thamrin menyelamatkan saya dari hidup penuh ketakpastian.” katanya kepada anaknya yang lain, Anggraini, anak dari istri pertamanya. Pramoedya tidak berusaha menyembunyikan kegetirannya tentang istri pertamanya, yang menurutnya tak hanya “kian menuntut”, “merongrong suaminya karena kurang keras bekerja” dan “beralih dari mengkritik ke mengejek” tapi juga pernah meminta cerai dan dua kali mengusir suaminya dari rumah.

Kehadiran Maiemoenah Thamrin yang setia, tabah dan manis budi, bagi Pramoedya bagaikan matahari yang terbit di ufuk timur itu. Tidak berlebihan nampaknya apabila kita menyimpulkan bahwa ada yang menetes dari kondisi dan suasana jiwa sang penulis ke dalam penggambarannya mengenai hubungan si-“aku” dan istrinya dalam Bukan Pasar Malam. Namun, seperti derap revolusi menyongsong zaman baru, tidakkah klise semacam itu justru menunjukkan suasana represif ‘jaman senja’ di latarnya?

Lebih dari itu, Bukan Pasar Malam juga seakan sebuah penerimaan atas sifat fana dan rapuh manusia sebagaimana kemerdekaan yang dicapai melalui perjuangan akan selamanya retak. Setelah perang, kata Walter Benjamin, “Tak ada yang tidak berubah kecuali awan.” Dan di bawah awan itu, di tengah puing dan kehancuran, ada “tubuh manusia yang kecil, rapuh.”

Alam pikiran si-“aku” jelas merujuk kepada sebuah kesadaran akan batas manusia. Sejumlah asumsi humanisme guncang di hadapan tubuh sang bapak yang ringkih, “mulut yang basah oleh ludah dan reak dengan sengsaranya”, “suaranya yang gelap, kosong, dalam dan tiada bertenaga.” Manusia tidaklah segagah apa yang dibayangkan dulu. Tubuh bukan saja kecil dan rapuh, tapi tak lagi stabil, kekal.

“Dan malam di luar terus juga menelan umur manusia”, gumam si-“aku”. Mungkin ada dalam diri Pramoedya, yang akan tetap menulis, yang tetap percaya akan supremasi manusia, yang percaya, sebagaimana sosialisme, bahwa manusia bisa mengubah dan menyembuhkan dunia, dan yang ingin percaya manusia adalah auctor dari hidupnya sendiri hingga ia bisa mengendalikan tak hanya nasib, tapi juga dunia dan akhirat. Tapi ada yang menyentuh dalam kerendahan hatinya dalam cerita-cerita Blora—tak hanya pada nasib, tapi juga pada alam.

Ketika Pramoedya menamai memoarnya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”—yang ia pinjam dari sajak Amir Hamzah, sang penyair besar Indonesia yang terbunuh dalam sebuah pemberontakan lokal di zaman revolusi—ia sadar bahwa “diam”, sebagaimana dalam esai Sartre “Republik yang Terdiam” (“The Republic of Silence”), adalah juga pemberontakan, sebuah sikap politik. Prancis tak pernah lebih merdeka, kata Sartre, ketimbang ketika berada dalam pendudukan Jerman, karena kebijakbestarian, seperti kata Hugo Hoffmanstahl, adalah sesuatu yang “tak patut.”

Tapi, saat tokoh Pramoedya, si-“aku” dengan sadar memilih untuk tidak tidur sembari menunggui sang bapak yang sedang sekarat, ia berkata, dengan lirih: “Dan terasalah olehku betapa gampangnya orang yang hidup dalam kesengsaraan itu kadang-kadang—dengan diam-diam—menikmati kebahagiaan.” Seperti kata Rachel Bespaloff dalam esai seminalnya tentang Iliad, manusia acap mencapai titik terjernih justru dalam ambang kehancuran.

***

Kita tahu bahwa Pramoedya Ananta Toer tidak sendirian sebagai juru catat abadnya, abad yang digambarkan oleh Anna Akhmatova dalam sajaknya, tahun 1919, sebagai berikut:

Kenapa lebih buruk abad ini dari semuanya?

Mungkin karena dalam kelam dan cemas

Ditorehnya tukak lambung yang ganas

Yang tak cepat disembuhkannya

Nadine Gordimer, pemenang Hadiah Nobel tahun 1990, dikenal sebagai seorang yang karya-karyanya banyak dipengaruhi jalan hidupnya sendiri. Semenjak awal karirnya, ia selalu dilanda tanda tanya mengenai tempatnya dalam sejarah, baik di masa kini maupun di masa depan. Tanda tanya itu bercabang dua: apa kiranya keputusan sejarah tentang proyek penjajahan Eropa atas Afrika Sub-Sahara, di mana ia dibesarkan; dan peran sejarah macam apakah yang terbuka bagi seorang penulis seperti dirinya, yang lahir menjelang zaman senja sebuah komunitas kolonial?

Seperti Pramoedya, yang ingin melihat bangsanya bebas dari penjajahan dan ketakadilan, dan menunjuk dirinya sebagai saksi sejarah, kerangka etis yang digunakan Gordimer terbentuk di tahun 50-an, ketika tirai besi apartheid mulai diturunkan dan ia mulai membaca Sartre dan Camus. Di bawah pengaruh kedua pemikir tersebut ia mengangkat dirinya sebagai saksi atas nasib Afrika Selatan. “Fungsi sang penulis,” tulis Sartre, “adalah untuk bertindak sedemikian rupa agar tak seorangpun diizinkan tak tahu- menahu tentang segala ikhwal dunia, dan agar tak seorangpun diizinkan untuk tidak turut bertanggung jawab mengenai apa yang terjadi.”

Novel-novel dan cerita-cerita pendek yang ditulis Gordimer selama tiga abad semenjak itu sarat tokoh-tokoh kulit putih Afrika Selatan—yang terbentuk dari pengalamannya sebagai salah satu dari mereka—yang menjadi tanggung jawab sang penulis, orang-orang yang pura-pura tak tahu-menahu, orang-orang yang sengaja menutup mata terhadap kekerasan dan ketakadilan. Dan di sinilah apa yang menjadi bagian masa kecil dan remajanya—rasa, tekstur, warna, aroma, bahkan trauma, detail-detail yang personal dan seakan remeh-temeh, menjadi berharga. Juga kesadarannya sebagai yang-Lain, sebagai seorang yang berbahasa Inggris di sebuah kota tambang Afrikaner, anak sepasang imigran Yahudi yang masuk sekolah Katolik, seorang wanita kulit putih di tengah laki-laki berkulit hitam yang bekerja di tambang.

Memang, pada akhirnya, di akhir 70-an, Gordimer mulai menyadari bahwa setelah bertahun-tahun menulis mengenai perjuangan kaum hitam Afrika Selatan, ia tetap dianggap terlalu “Eropa” oleh mereka. Cerita-cerita pendek Gordimer pada zaman itu menunjukkan pergulatannya dengan fakta yang menyakitkan itu: apa artinya menulis untuk dan atas nama sebuah bangsa—apalagi membuat mereka peduli untuk membacanya. Dan ketika ia akhirnya mendapat Hadiah Nobel, pada tahun 1990, ia dihujani kritik yang hampir semuanya mengacu pada tafsir mengenai dirinya, bukan karyanya: ia terlalu “ideologis”, aktivismenya terlalu tipis; pernikahannya dengan seorang art dealer menandakan ia seorang borjuis.

Membaca karya-karya Pramoedya sekarang, juga dalam konteks sejarah, politik dan budaya yang berbeda, kita mungkin akan terhenyak membaca ungkapan-ungkapanny a yang kaku, tata bahasanya yang gagap, sikapnya yang getir. Seakan ia telah ketinggalan jaman, meski kesadaran dan kebenaran yang ia usung tak akan kunjung padam. Tapi seperti yang dikatakan Gordimer ketika sejumlah kritikus mengatakan bahwa sastra Afrika Selatan selesai sudah dengan tamatnya apartheid, “Minat mereka hanya pada sesuatu yang bernama apartheid … kami tak bisa menyediakannya lagi. Tapi kita hidup dalam seluruh kehidupan di luar itu.”

***

Pada titik ini ada baiknya kita ingat bahwa “seluruh kehidupan” di luar narasi-narasi besar sejarah terdiri dari kisah-kisah manusia biasa, yang sering tak tertangkap oleh sejarah dengan S besar (dengan tatapannya yang panoptik).

Penulis Indonesia Nurhayati Sri Hardini, atau lebih dikenal sebagai Nh. Dini, seperti kita ketahui, tak pernah merasa harus menjelas-jelaskan, apalagi minta maaf, tentang sisi otobiografis karya-karyanya. Novel pertamanya, Dua Dunia, di mana ia menyatakan, tanpa beban dan pretensi, “tulisan-tulisan saya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan”, terbit tahun 1956. Tapi seperti kita ketahui, adalah La Barka (1973) dan Pada Sebuah Kapal (1985) yang memberinya pengakuan luas sebagai sastrawan yang patut diperhitungkan.

Perkawinannya dengan seorang diplomat Prancis membawanya hidup di pelbagai pelosok dunia: di Jepang, Filipina, Kamboja, Amerika, Belanda, Prancis. Tahun 1980, ia kembali ke tanah airnya dan kini menetap di Yogyakarta . Ia dikaruniai dua anak meski ia tidak bahagia dalam perkawinannya.

Hampir sepanjang karirnya, Nh. Dini menulis dan mencatat apa yang terjadi kepada dirinya, pada dunianya. Rangkaian memoar yang lalu dikenal sebagai Seri Cerita Kenangan itu diterbitkan setelah novelnya yang terpenting, Pada Sebuah Kapal, mengukuhkan namanya dalam kancah sastra Indonesia. Sebuah Lorong di Kotaku mengisahkan masa kecilnya pra-sekolah. Sekayu meliput hari-harinya beserta keluarganya dari SD sampai SMP. Masa-masanya sebagai istri tertuang dalam sejumlah karya—Kemayoran, Dari Parangakik ke Kampuchea, Jepun, Negerinya Hiroko, sesuai dengan pelbagai wilayah dunia di mana mereka menetap.

Tapi, adalah dalam bukunya yang terbit tahun 2005, Dari Fontenay ke Magallianes, Dini pertama kali bercerita penuh tentang si kapten, kekasih gelap yang datang dan pergi dalam kehidupannya semenjak ia hidup di Kamboja, ketika usia perkawinannya dua tahun. “Pria itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Meskipun kelak kami akan lama tidak bertemu, dia tidak akan lepas dari diri dan batinku.” tulisnya. “Dia telah mengajariku banyak hal. Dia juga mengembalikan kepercayaan diriku: aku pantas dikehendaki oleh seorang lelaki seperti dia, pria penuh kualitas yanpa meninggalkan kelembutan dalam sikap dan perilaku yang sewajarnya.” Tak mengherankan bahwa dalam menghadapi karyanya yang paling “fiksional” (dalam arti ia bukan memoar murni, tapi mencakup hidup sejumlah teman perempuannya) , Pada Sebuah Kapal, para pembaca ingin tahu satu hal: apakah “Kaptenku” dalam novel itu adalah kapten yang dicintai Nh. Dini, dan sejauh mana kejadian-kejadian yang digambarkan dalam novel itu mencerminkan pengalaman pribadi penulisnya.

Seorang artis, tegas W.H. Auden, harus tanpa nama. (“Artists should be anonymous.”) Nh. Dini bukan saja bernama: ia berwujud penuh. Bahkan, popularitasnya tak datang dari “fiksi”nya melainkan dari buku seri kenangannya. Bagaimanapun juga, membaca dengan tekun dan serius sama dengan mendengarkan sepotong suara dan membiarkannya terus berbicara. Dan bagian besar dari apa yang mendorong kita sebagai pembaca adalah, pada akhirnya, gairah untuk mengenal penulisnya, menghayati visinya, dan memahami dunianya. Sejujurnya, jika kita menyukai sebuah karya, tak lama kemudian kita pasti akan membolak-balik biografi sang penulis, mencari tahu seperti apa wajahnya.

Bagi para pembaca setia Dini, Dari Fontenay ke Magallianes tak hanya menguak lebar tabir hubungannya dengan sang kapten, tapi juga detail-detail terkecil pengalamannya di sebuah rumah pertanian di Prancis Selatan milik sahabatnya, Mireille, yang mengilhami novelnya yang terbit tahun 1973, La Barka. Dalam Dari Fontenay ia menamai sang kapten “Bagus” (dari ayu-bagus, nampaknya, dengan ia sebagai “Ayou”. Ini sesuatu yang jelas merupakan bahasa intim di antara mereka). Tapi, buku itu juga merupakan penghujatan panjang atas suaminya, seorang yang ia gambarkan sebagai seseorang yang pelit, pemarah, kasar, tak menghargai istri maupun teman dan berkepribadian ganda. Dini bahkan menyingkap saat ia “diperkosa” oleh suaminya, yang berakhir pada kehamilannya dengan anak ketiga yang tidak ia ingini.

Dalam Dari Fontenay ke Magallianes, semacam exposé atas sesuatu yang telah ia tulis dalam bentuk lain, kita melihat perpaduan sejumlah unsur. Pertama, cara Dini berbicara dengan sikap lugas sebuah reportase, terutama ketika sedang menggambarkan kota, dengan upaya di sana-sini untuk memperlakukan sekelumit sejarahnya sebagai pelajaran bagi orang Indonesia. Bagaimana di Panthéon seorang pengarang dapat berbaring satu atap dengan para jenderal, presiden dan mahaguru, dan bahwa itu bukti nyata penghargaan bangsa Prancis terhadap pekerja seni. Bagaimana menjadi “tamu” seseorang berarti menjadi tamu keluarga orang itu. Dengan itu pula Dini seakan mencegah kita sebentar di ambang pintu: ada segaris ruang antara saya dan kalian, sebagaimana ada sebuah pintu di antara seorang yang acap melanglang buana dan mereka yang gagap dan terbelakang.

Kedua, penjabaran waktu yang sedikit acak di awal cerita. Karena buku itu adalah sebuah memoar, dan ia ditulis sekitar empat dasawarsa setelah kisah terjadi, seringkali kita dibingungkan oleh kalimat macam ini: “Ketika aku menjelajahi daerah Latin di tahun enam puluhan itu, belum terdapat banyak kios atau pojok-pojok tempat penjual makanan Yunani, Afrika, atau makanan siap-saji jenis asing lainnya.”

Apabila kita pembaca yang “kenal dunia”, kita akan seketika tahu bahwa Dini membandingkan Paris tahun 60-an dengan Paris abad ke 21. Tapi kebingungan itu masih ada karena sebelumnya ia mengatakan “Dari abad ketujuh belas sampai masa tinggalku yang kedua kalinya di Prancis, daerah kaum terpelajar itu terus menambah jumlah universitasnya.” Dari mana kita tahu bahwa ketika ia bercerita mengenai penjelajahannya di Latin Quartier di tahun 60-an bahwa ia tak bicara mengenai masa tinggalnya di Prancis yang pertama?

Ketiga, hasrat Dini merengkuh pembaca melalui semacam curhat panjang tentang hal-hal yang terpribadi, yang seakan sebuah kompensasi atas jarak pedantiknya. Hal ini nampak dari caranya memperkenalkan figur sang kapten, pada halaman 14, tanpa build-up, tanpa peringatan, seakan sambil lalu. Sekeping kenangan tentang cuaca di Prancis Selatan tiba-tiba menjelma kenangan tentang koleksi topi yang telah ia kumpulkan bersama sang kapten dalam momen-momen mereka bersama. Dan momen-momen itu ternyata cukup kerap: Hong Kong, Kobe, sejumlah kota di Eropa termasuk di Marseille.

Perlu saya jelaskan: yang saya maksud dengan hasrat merengkuh pembaca adalah asumsi yang mendasari nada naratif Dini yang santai dan apa adanya, bahwa siapa saja yang membaca Dari Fontenay ke Magallianes akan tahu paling tidak hal-hal yang mendasar tentang riwayat hidupnya sampai titik tersebut, karena mereka adalah pembaca setianya. Pada saat yang sama, ada rasa percaya diri luar biasa pada diri Dini untuk membangun karirnya hampir sepenuhnya dari kisah mengenai dirinya. Ia percaya bahwa hidupnya layak diketahui orang, dan bahwa si pembaca percaya pada dirinya sebagai manusia, pada suaranya sebagai narator, pada versi yang diajukannya.

Mengapa hal ini penting dalam sebuah memoar? Karena memoar tak hanya mengungkap fakta diri tapi juga kehidupan orang-orang lain melalui sebuah perspektif tunggal dan mencoba menyajikannya sebagai “kebenaran.” Dan dalam banyak kasus, orang-orang lain tersebut masih hidup—dengan nama, keluarga, dan masa depan. Kiranya tak perlu dibahas di sini bagaimana getir dan agresifnya Dini mengupas segala detail negatif mengenai suaminya. Dan di sini saya kembali kepada duduk perkara yang saya angkat di awal makalah: ketika kita menulis ulang dalam suara orang pertama, kita terbuka pada banyak kesalahan—kealpaan, bias tertentu, jiwa manusia yang tak terbaca, jarak yang meniadakan antara masa lalu dan masa kini, keterbatasan bahasa. Tapi, yang mencorong pada kasus Dini adalah benci dan dendam.

Saya tidak mengatakan bahwa memoar ini tidak menunjukkan sisi-sisi lain Dini. Di satu pihak, ia perempuan yang sangat modern, dalam arti seseorang yang berpikir praktis, tangkas dalam urusan-urusan rumah tangga di dalam konteks Barat (tanpa pembantu), sanggup menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga.

Ia juga modern dalam satu hal yang vital: seksualitas. Ia tak hanya merasa perselingkuhan merupakan sesuatu yang syah—dengan dalih tak ada cinta lagi antara dirinya dan suaminya—tapi ia juga bicara mengenai seks dengan gamblang, sebagai sesuatu yang tak perlu ditutup-tutupi, sebagai sesuatu yang bisa dahsyat dan memabukkan, tapi juga sebagai bagian yang integral dari hidup. Ada kesan bahwa detail-detail persetubuhan yang grafis (jauh lebih grafis ketimbang dalam novel-novelnya terdahulu) dalam Dari Fontenay ke Magallianes hadir karena klimat sastra yang jauh lebih liberal di Indonesia—yang telah akrab dengan upaya-upaya angkatan penulis perempuan era 90-an/millennium baru seperti Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu—tapi juga sebagai sodokan seorang pengarang senior yang telah merintis ikhwal seks dan seksualitas jauh sebelum Saman terbit tahun 1998 (dan acap dilupakan).

Seorang yang modern, kata Walter Benjamin, adalah seorang yang memilih, yang selalu meletakkan dirinya sebagai subyek. Dini “memilih” tinggal bersama suaminya, dan selingkuh dengan si kapten yang belakangan kita tahu sebagai orang Prancis. Dini modern karena ia tidak sentimental, bahkan tentang kekasih gelap yang membuatnya bahagia, dan ia tak sudi “menggantungkan diri” pada seorang lelaki. Ada sebuah sikap stoik pada dirinya, entah sebagai kedok perasaan sebenarnya, atau memang sikapnya yang sesungguhnya.

Meski ia mengungkapkan suka hatinya ketika sedang bersama, ia jarang bicara tentang sang pacar di luar momen-momen pribadi mereka. Tak ada transisi di antara waktu resmi dan waktu pribadi. Tak ada keluh kesah, tak ada kenangan yang menyelisip ke wilayah resmi, tak ada kerinduan yang menyesakkan. Ia modern karena ia bisa memilah dirinya begitu rupa hingga ia bisa berfungsi sehari-hari. Ia sama dinginnya dalam meninggalkan suami dan anak untuk melewatkan dua minggu bersama si kapten di Marseille dan dalam meninggalkan “Bagus” untuk kembali pada tanggung jawabnya.

“Mireille mengetahui rahasiaku.” tulis Dini dengan seadanya, “Selama tinggal di La Barka, telah berkali-kali aku menerima telepon dari Bagus. Dan ketika Kapten mengundangku ke Marseille, temanku itu bersedia menjadi ibu asuh Lintang selama aku pergi. Aku berangkat menuju rendezvous.”

Kita memang tak akan pernah tahu seberapa banyak dari diri sejati Dini yang tak sedia ia ungkapkan. Otobiografi berlandaskan kejujuran tapi juga mengandung sensor diri. Sedangkan pada diri Dini terdapat banyak kontradiksi: ia membenci suaminya dan menganggap segala detail intim kebencian itu layak diceritakan kepada khalayak, sementara ketika harus bercerita tentang kehamilannya pada kekasihnya, ia ragu. “Dalam istilah Jawa ada perkataan dora sembadha (atau berbohong demi kebaikan bersama/suasana pada umumnya).” tulis Dini. “Aku tidak ingin mempermalukan lelaki yang kunikahi.”

Dalam sejumlah hal, Dini masih banyak mengacu pada nilai Jawa. Itu juga yang mungkin menyebabkannya bertahan dengan suaminya, ditambah kecemasan akan aspek finansial membesarkan anak. Tapi ada juga pragmatisme dalam diri Dini. Ketika si kapten menyatakan bahwa ia ingin hidup bersama Dini, bahkan meminta Dini untuk tidak menggugurkan janin anak ketiganya karena ia ingin mengadopsi anak tersebut, ia girang dan terharu. “Ajakannya untuk tinggal bersama dia, apalagi maksud mengangkat anak-anakku di bawah asuhannya bukanlah hal sepele bagiku. Meskipun itu hanya berupa angan-angan, belum tentu akan terlaksana, namun hatiku seolah-olah mengembang berlipat ganda besarnya oleh rasa bahagia.”

Ada sesuatu yang terkesan sangat “Jawa”, tahu diri dan sadar tempat, dalam sikapnya berikut ini: “Aku harus menyikapi semua ini dengan sederhana, karena bagaimanapun juga, aku tidak ingin membebani Kaptenku.” Tapi, pada saat yang sama kita lihat pragmatisme dalam baris-baris ini: “Sejak kami bersama, setiap kali bertemu, dia tidak pernah lupa nyangoni aku dengan sejumlah uang. Hadiah-hadiah lain dari dia juga tidak terhitung banyaknya.”

Di satu sisi, kita menemukan Dini yang menghujat “bagian bumi” di mana ia dilahirkan “yang terang-terangan mengambil keteladanan dari kaum lelaki” tapi yang saat bertemu dengan kelembutan dan kasih sayang yang tulus, bersedia “tak menekan atau mempengaruhi keputusan tersebut, karena aku tetap tidak hendak membebani diri (Kaptenku), baik moral ataupun material.”

Ada banyak dendam dan benci dalam jiwa Nh. Dini—terutama terhadap kaum lelaki. Pada Sebuah Kapal, kita tahu, berkisah tentang lima perempuan, semuanya bernama Sri, yang menderita di tangan laki-laki. Tapi inilah yang membedakan fakta-fiksi dengan otobiografi.

Sebuah narasi orang ketiga, berbeda dengan orang pertama, dengan sendirinya mampu menciptakan ilusi bahwa cerita itu sedang berlangsung sekarang, saat ini. Kisah seorang narator orang pertama, tidak bisa tidak, harus mengenai masa lalu. Bercerita adalah menceritakan kembali. Dan pada saat itulah terbuka kemungkinan untuk salah. Salah karena satu atau lain hal: ingatan yang khilaf, jiwa manusia yang tak terbaca, jarak yang meniadakan antara masa lalu dan masa kini, keterbatasan bahasa. Dalam kasus Dini, rasa benci-dendam ini begitu menguasai dirinya hingga ia terpaku penuh pada segala apa yang terjadi padanya seputar masalah itu. Ia tak lagi melihat dunia, melihat kampung halamannya. Ia tak sadar apa yang terjadi pada Indonesia di tahun-tahun genting itu—tahun-tahun- tahun peralihan—atau ia tak mau tahu. Bagi Dini, ia sendirilah pahlawan, subyek dan pusat.

***

Pramoedya Ananta Toer dan Nh. Dini terpaut sekitar 14 tahun, dan hidup mereka bagaikan langit dan bumi. Orang akan senantiasa membicarakan dan membandingkan sumbangan mereka terhadap sastra, terhadap dunia, dan terhadap bahasa pada umumnya. Tapi sebagai penutup izinkan saya mengutip Pramoedya Ananta Toer:

“Pengarang dengan demikian (...) mendapatkan tekanan terberat. Namun apa pun perlakuan yang ditimpakan padanya, pengalaman pribadinya adah juga pengalaman bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya. Sebagian, kecil atau besar, atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali pada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah.” (1992:10)

Terima kasih.

Jakarta, November 2008

Paris, Musim Dingin 2008
------------ --------- --------- ---
JJ. Kusni
[Selesai]
Keterangan foto:
* Lily Yumianti, sastrawan dari Makassar dan Laksmi Pamuncak di acara "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" di Paris 07 Desember 2008
MaMak
* Luna Vidya, aktris dan penyair kelahiran Sentani, Papua pada acara serupa
[Foto dan Dok. JJ. Kusni].

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online