Amazon

marketiva

Thursday, December 18, 2008

Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa

Judul Buku: Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa

Supervisi: Taufik Rahzen

Koordinator Riset dan Penulisan: Muhidin M Dahlan

Periset: Agung Dwi Hartanto, Arahman Topan Ali, Argus Firmansah, Dian Andika Winda, Iswara N Raditya, Mahtisa Iswari, M Yuanda Zara, Petrik Matanasi, Reni Nuryanti, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Sunarno, Tunggul Tauladan

Penerbit: I:BOEKOE, Desember 2008

Tebal: 1184 halaman (edisi hitam putih)

Ukuran: 15x24 cm (hardcover)

Karena hanya cetak terbatas, maka penerbit hanya menerima pesanan bagi yang membutuhkan. Untuk pemesanan hubungi: 081328690269 (Ria/Jakarta) dan 08886854721 (Nurul/Jogja)


CUPLIKAN PENGANTAR

Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.

Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.

Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan� adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai� Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express.

Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia . Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin.

Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.

Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.

Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.�

Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.

Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.

Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung.

Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.

Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.

Kelima alasan itulah kemudian mengukuhkan bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru.

Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.

Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo.

Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.

BUKU INI DITERBITKAN sebagai sebuah penghargaan atas kerja Tirto Adhi Soerjo yang mangkat dengan tragis pada 7 Desember 1918. Dikerjakan siang malam oleh sembilan sejarawan muda (partikelir) di bawah usia 25 tahun selama dua tahun.

Sebagai sebuah perayaan tradisi pers Indonesia, buku ini menuliskan kembali 365 mini-biografi pers Indonesia. Bukan hanya cetak, tapi juga elektronik, bahkan tradisi pers di internet. Diriset dari pers yang terbit di hampir seluruh daerah, pelbagai bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda), dan seluruh kurun (1907-2007—bahkan sampai merentang lebih jauh pada 1744).

Sekaligus buku ini menandai sebuah maklumat bahwa 7 Desember adalah tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya.

DAFTAR PERS INDONESIA YANG DIRISET

MEDAN PRIJAJI

Koran Pertama Penyuluh Kebangsaan ~ 1

BATAVIASE NOUVELLES

Yang Pertama yang Dibreidel ~ 5

SELOMPRET MELAJOE

Terompet Bisnis Kaoem Pedagang ~ 8

TJAHAJA SIJANG

Dari Penginjil ke Sekuler Progresif ~ 11

PEMBRITA BETAWI

Terbit di Ujung Abad ~ 14

PERTJA BARAT

Satire untuk Padang ~ 17

BINTANG BATAVIA

Koran Putih untuk Rakyat Hindia Belanda ~ 20

RETNODHOEMILAH

Sepoetjoek Soerat Boeat Pembatja ~ 23

PEWARTA BORNEO

Internasionalisme Borneo ~ 26

BINTANG HINDIA

Bangsa Osoelan dan Piekieran ~ 29

PERNIAGAAN

Berdagang Politik ~ 32

SOENDA BERITA

Dari Tjianjur Mengasah Ketajaman Pena ~ 35

SINAR ATJEH

Si Putih Manis dari Ujung Barat ~ 39

SOELOEH KEADILAN

Adik Kandung Mas Medan ~ 43

TJAHAJA TIMOER

Terbit di Antara Kaum Pembatik ~ 46

POETRI HINDIA

Kekasih Cantik dan Alus Mas Medan ~ 49

DJAWI HISWARA

Martodharsono dan Geger Surakarta ~ 53

PANTJARAN WARTA

Anak Hindia Soedah Berapi ~ 57

PEWARTA DELI

Hulu Bagi Jurnalis-Jurnalis Tangguh ~ 60

SINPO

The Bodyguard from Batavia ~ 63

AL-MOENIR

Saudara Mudanya al-Manar ~ 66

MEDAN GOEROE HINDIA

Hak Sekolah untuk Semua ~ 70

OETOESAN MELAJOE

Koran Utusan Kaum Adat ~ 73

TJAJA HINDIA

Nasionalisme Bangsa (Basa) Indonesia ~ 77

DE EXPRES

Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier!! ! ~ 80

OETOESAN HINDIA

Hidup Mati untuk Sarekat Islam ~ 83

SAROTOMO

Koran Kritis Dituduh Rasis ~ 87

SOENTING MELAJOE

Disini, Nama Roehana KoeddoesTerpahat ~ 91

SAUDARA HINDIA

Berbagi Ilmu di Majalah ~ 94

BINTANG TIONGHOA

Ada Sawo Matang di Koran Kuning ~ 97

DOENIA BERGERAK

Koran Pamflet untuk AktivisBerkepala Batu ~ 101

POETRI MARDIKA

Si Gadis Intelek Boedi Oetomo ~ 104

SELOMPRET HINDIA

Tereaklah! ~ 107

BINTANG MATARAM

Gelitik-Menggelitik di Pojok Halaman ~ 110

MEDAN BOEDIMAN

Pandai dan Terampil untuk Karaharjan Negeri ~ 114

MEDAN MOESLIMIN

Hidoep Kaoem Moeslimin Sedoenia ~ 117

SOEARA MOEHAMMADIJAH

Hampir Seabad Bernapas di Bawah Matahari ~ 120

BENIH MARDEKA

Karena Critic itu Menghibur, Toean! ~ 124

HINDIA MOEDA

Visi Perubahan di Lampung ~ 127

IEN PO

Koran dengan Strategi Pemasaran Kreatif ~ 130

NERATJA

Didik Nasionalisme Lewat Jalan Pendidikan ~ 134

SINAR DJAWA

Antara SI, Semaoen, dan Radikalisme Pers ~ 138

BARGA WASTRA

Ksatria Manggis dari Cirebon ~ 142

JONG SUMATRA

Tiada Bahasa, Hilanglah Bangsa ~ 145

PEREMPOEAN BERGERAK

Dari Deli untuk Kesetaraan ~ 148

PERSATOEAN HINDIA

‘De Expres Jilid II ~ 152

SINAR PASOENDAN

Duta Rakyat Pasundan untuk SI Semarang ~ 155

TERADJOE

Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 158

BOEDI OETOMO

Satrija Djawa Sedjati ~ 161

KENG PO

Mustika Negeri dari Hilir Musi ~ 164

JONG JAVA

Dari Jawa untuk Tanah Air ~ 168

MASA BAROE

Ratu Adil dari Bandoeng ~ 172

PEMIMPIN

Jurnalisme Berkelahi yang Berakhir di Bui ~ 175

BENIH PENGETAHOEAN

Dari Kabar Pertukangan Hingga Pergerakan ~ 178

DOENIA BAROE

Konang-konang dalam Benderang Kapitaal ~ 181

MATAHARI

Berkobar-kobar Mendjilat ka Kiri ~ 185

PEMBERITA INDIA

Pengingat yang Diabaikan ~ 188

PERSATOEAN

Nasionalisme Turki untuk Penduduk Hindia ~ 191

BANDERA ISLAM

Patok-patok Merukunkan Islam ~ 194

FADJAR ASIA

Lebih Dekat dengan Tojkro, Salim, dan Wirjo ~ 197

HALILINTAR

Pontianak Diguntjang ‘Petir’ ~ 201

KEMADJOEAN HINDIA

Lahir Setelah Oetoesan Hindia Wassalam ~ 204

OETEOSAN RA’IAT

Dari Dakwah Mimbar ke Dakwah Koran ~ 208

PAHLAWAN

Juru Damai, Redakan Tikai ~ 211

RA’JAT BERGERAK

Misbach Ditangkap dan Medja Redactie Tergontjang! !! ~215

SARASO SAMALOE

Satu Rasa Minang-Pariaman ~ 218

SIN JIT PO

Di Sini si Fjamboek Berduri Pernah Jadi Redacteur ~ 221

SIPATAHOENAN

Nasionalisme Dari Paguyuban Sunda ~ 224

WARTA TIMOER

“Spion� Pembela Kaum Lemah ~ 227

BINTANG BORNEO

Manisfest Nasionalisten op Borneo ~ 230

BOEMIPOETERA

Sang Penakluk Malaise ~ 233

INDONESIA MERDEKA

Seruan Merdeka dari Perhimpunan Indonesia ~ 236

KAOEM KITA

PKI Menipu Sarekat Islam ~ 240

PELITA ANDALAS

Cahaya Terang Tionghoa-Bumiputera ~ 243

SOEARA HINDIA

Dari Dagang hingga Perempuan ~ 246

BERANI

Barang Siapa Jang Bentji Pada Kita ialah Moesoeh Kita! ~ 249

CHABAR MINGGOEAN

Ada yang Menggigit di Feuileton ~ 252

DJAWA TENGAH REVIEW

Jurnal Berita yang Tak Bias dan Biasa ~ 255

DOENIA BAROE

Semesta Tionghoa untuk Indonesia ~ 258

FIKIRAN

Penyambung Lidah Rakyat Minahasa ~ 261

HINDIA BAROE

Iklan Menjepit Haji Agus Salim ~ 264

NJALA

Ra’jat Mengadoe Didjawab dengan Kelewang ~ 267

PENJOELOEH

Memojokkan Polisi Kolonial Dapat Teguran Bestuur ~ 270

PERSATOEAN RA’JAT

Kaoem Miskin dari Segala Bangsa dan Agama Bersatoelah ~ 273

SWARA PUBLIEK

“Doesta� yang Bilang Pers Peranakan Ta’ Nasionalist ~ 276

TEMPO

Sebarisan Penganjur Dari Koran Jogja ~ 280

TJAHJA PALEMBANG

Menerangi Kebusukan ~ 284

BINTANG TIMOER

Yang Membujur lalu yang Melintang Patah ~ 287

HAN PO

Jadikanlah Kami Indonesiamu Juga ~ 290

PEMBERITA

Berayun Bersama Perlawanan Merah ‘26 ~ 294

PERSAUDARA’AN

Pemantik Semangat Kemajuan Rakyat ~ 297

PERTJA SELATAN

Bangoenlah Wong Palembang ! ~ 300

SINAR BORNEO

Jurnalisme Scolastik dari Pontianak ~ 303

SINAR INDONESIA

Hakim Bagi Musuh Kaum Proletar ~ 306

SOEARA BORNEO

Kabar dari Negeri Mandau ~ 309

SOEARA MOERID

Penegak Surau di Padang Pandjang ~ 312

SOEARA TAMAN SISWA

Pejuang Pendidikan Bangsa Indonesia ~ 315

SOELING HINDIA

Mengaloen Oentoek Indonesia Raja ~ 318

SOELOEH INDONESIA

Jurnal Politik Kaum Cerdik Cendekia ~ 321

TJAHAJA DJOMBANG

Setitik Api dari Djombang ~ 325

BOEMI MELAJOE

Dari Selatan Pulau Perca

Mengeja Indonesia ~ 328

MIMBAR CELEBES

Pergerakan dan Kritik Budaya ~ 331

MATAHARI INDONESIA

Iwa Pun Dikurung di Belakang Matahari ~ 334

PELITA BANGKA

Surat Kabar Pertama di Bangka ~ 338

PERSATOEAN INDONESIA

Pekik Nasionalisme Soekarno ~ 341

PEWARTA MADIOEN

Dulu Sekedar Reclame Sekarang Moweat Segala Brita ~ 344

SOEARA KITA

Banggalah Berbahasa Indonesia ~ 347

ISTERI

Utusan Perikatan Perempoean Indonesia ~ 351

ISTRI MERDIKA

Memori Masa Lalu dan Cermin Kini ~ 354

PEWARTA MENADO

Seruan dari Utara Celebes ~ 357

SIN TIT PO

Persemaian Jiwa Indonesia ~ 360

SINAR DELI

Dalam Arus Besar Pergerakan ~ 363

SINAR LAOETAN

Jalan Belakang Menuju Kebebasan ~ 366

SOEARA TIMOER

Berjuang untuk Ibu Timur ~ 369

FADJAR INDONESIA

Reportase Perbudakan Kolonial di Mandar ~ 372

PERGERAKAN

Pembela Peranakan di Belakang Tembok ~ 375

SEDAR

Penentang Keras Poligami ~ 378

INDONESIA MOEDA

Yang Muda, yang Berkarya ~ 382

SOEARA KAOEM

Agoes Salim dan Persatuan Kaum Muda ~ 385

RA’JAT

Si Pedagog dari Madura ~ 388

BARISAN KITA

Di Mangkasar Matahari Molai Bertjahaja ~ 391

DAULAT RA’JAT

Mengembalikan Pergerakan ke Jalur Pemikiran ~ 394

LENTERA

Kaoem Iboe Wadjib Tempoer ~ 398

AKSI

Apa Tuan Seorang Nasionalist ~ 401

MEDAN RA’JAT

Koran Islam Semua Paham ~ 405

OETOESAN INDONESIA

Dari Kiri ke Nasionalis ~ 408

SOEARA MERDEKA

Ketika Gerakan Pemuda dan Pemudi Sama Pentingnya ~ 412

SOEARA OEMOEM

Dari ‘Studie Club’ ke ‘Parindra’ ~ 416

SOELOEH KAOEM MOEDA

Sajian Untuk Kaum yang Dilarang Berhutang ~ 419

SURYA

Sekutu Soekarno dari Andalas ~ 422

API RA’JAT

Api juang berkubar-kubar dalam Tungku ~ 425

ASIA BAROE

Naga di Bumi Pasundan ~ 428

BANTENG

Jago Tarung dari Partindo ~ 431

FIKIRAN RA’JAT

Kaoem Marhaen, Inilah Madjalah Kamoe! ~ 434

MENJALA

Organ PNI Sembunyi Tangan ~ 437

SENDJATA RA’JAT

Penyokong Pergerakan yang Radikal ~ 440

ADIL

Menuntun Umat, Mengawal Lahirnya Reformasi ~ 443

PENJEBAR SEMANGAT

Untuk Bangsa Kita Kaum Kromo ~ 447

PEMANDANGAN

Mozaik Nasionalist Indonesia ~ 450

POEDJANGGA BAROE

Pandu Kebudayaan Indonesia ~ 454

WARTA KEMADJOEAN

Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 457

MINAHASSA POST

Bukan (Lagi) Kroni Kolonial ~ 460

OETOESAN

Figur Pembebasan bagi Rakyat ~ 463

SINAR SUMATRA

Ketika Melayu Ingin Modern ~ 466

SOELAWESI

Nyemprot, tapi bukan Propaganda ~ 469

TABOEH

Nasionalisme dari Negeri Asing ~ 472

ISTERI INDONESIA

Kami Hanya Perkumpulan Sosial ~ 475

PENJEDAR

Penyadar di Kala Tak Sadar ~ 478

SOEARA PARINDRA

Gaung Bergabung Menuju Persatuan ~ 481

TJAJA BOGOR

“Obat Kuat� Buat Bogor ~ 484

NATIONALE COMMENTAREN

Trengginasnya Orang Manado ! ~ 487

PENOENTOEN PIKIRAN

Memperjuangkan Borneo ~ 490

PEWARTA OEMOEM

Mengenalkan Pemimpin dan Bangsa Lewat Pidato ~ 493

SEPAKAT

Penjajahan, Perang, dan Kesadaran ~ 496

SEROEAN

Gorontalo Minta Diperhatikan ~ 499

SINAR BAROE

Juru Bicara Saudara Tua ~ 502

DJAWA BAROE

Kumpulkanlah Biji Jarak ~ 505

PESAT

Santun Dalam Kata, Bijak Dalam Berita ~ 509

REPOEBLIK

Suplemen Nasionalisme dalam Berita Perang ~ 512

BERITA INDONESIA

Koran Propaganda Kemerdekaan ~ 515

BINTANG MERAH

Dengan Jurnal Kembali ke Atas Panggung ~ 518

DJAJABAJA

Mulut Jawa Prabu Karno ~ 521

KEDAULATAN RAKJAT

Saksi Jatuh Bangunnya Pemerintahan Indonesia ~ 524

MERAH POETIH

Pentingnya Uang Bagi Negara Merdeka ~ 528

RRI

Sekali di Udara, Tetap di Udara ~ 531

MERDEKA

Barisan Pembela Soekarnoisme yang Dihempas Soekarno ~ 534

HIDUP

Dari Katolik untuk Indonesia ~ 537

PANDJI RA’JAT

Koran Gratis untuk Indonesia ~ 541

PEMBANGOEN

Njalakan Api Persaoedaraan Bangsa-Bangsa ~ 544

SUARA MASJARAKAT

Penerang dari Malang ~ 547

SOEARA MERDEKA

Siapa Pengkhianat, Siapa Pembela Revolusi ~ 550

SOELOEH MERDEKA

Seiya Sekata, Sahabat Sejati Republiken ~ 553

BAKTI

Ksatria Baret dalam Berita ~ 556

BERNAS

Koran untuk Kota Pendidikan ~ 559

GELOMBANG ZAMAN

Penggiring Badai Revolusi ~ 562

GELORA RAKJAT

Nasionalisme dalam Lembaran Koran ~ 566

GEMA MASSA

Kesetiaan yang Pahit ~ 569

MASJARAKAT BAROE

Geliat Damai Staat van Beleg ~ 572

NUSANTARA

“Harian Got dan Fasis� ~ 575

PELITA RAKJAT

Suratkabar Berhaluan Nasionalis ~ 578

BINTANG INDONESIA

Lentur Mewartakan Perekonomian ~ 581

MIMBAR UMUM

Koran Medan , Berita Jakarta ~ 584

MINGGU PAGI

Dua Jilid Perlawanan Seniman Malioboro ~ 587

PEDOMAN RAKJAT

Penghadang Jalan Kudeta ~ 590

PENABOER

Dari Jakarta Menabur Kasih ~ 593

PENINDJAU

Kecak-kecak Warna Politik ~ 596

PENOENTOEN PERDJOEANGAN

Dari Bukitinggi Menyusun Strategi ~ 599

SIASAT

“Jalan Puisi� dalam (Berita) Politik Indonesia ~ 603

TROMPET MASJARAKAT

Tiada Hari Tanpa Meja Hijau ~ 607

WAKTOE

Enak Dibaca dan Penting ~ 610

WARTA EKONOMI

Mencari Format Ekonomi yang Berkeindonesiaan ~ 613

WASPADA

Di Bawah Bayang-Bayang ‘Sang Godfather’ ~ 616

GEMA SUASANA

Eksodus Sastra Kritik ~ 619

KESATUAN INDONESIA

Sadar Satu Sebangsa ~ 622

HIKMAH

Karena Komunis Harus Ditendang! ~ 625

MESTIKA

Media Intrik Nir Partai ~ 629

PEDOMAN

Presiden Soeharto: “Pedoman...Pateni wae...� ~ 632

PERDAMAIAN

‘Proces Sedjarah’ Sebagai Tonggak Ingatan ~ 635

SIKAP

Diplomasi Kuat Bangsa Berdaulat ~ 639

SUARA INDONESIA

Keseimbangan Informasi dan Hiburan ~ 642

SUMBER

Kesatuan Indonesia Sebagai Harga Mati ~ 645

WARTA INDONESIA

Keteguhan dalam Pergolakan ~ 648

ABAD BARU

‘Pudjangga Baru’ van Medan ~ 652

DUNIA EKONOMI

Menyapa Kaum Papa Lewat Media ~ 655

HARIAN UMUM

‘Pak Pentol’ dan Benteng Kewarasan ~ 659

INDONESIA RAYA

Berkali-kali Dibredel Baru Mati ~ 662

DJAWA POST

Sebuah Anomali Pers Melayu Tionghoa ~ 666

MEKAR

Tetap Setia pada Bu Fat ~ 670

SUNDAY COURIER

Rupa-Rupa Politik di Hari Minggu ~ 673

TANAH AIR

Mengabdi dengan Setia Kepada Tanah Air ~ 676

ABADI

Hidupnya tak Seabadi Namanya ~ 679

PENGHARAPAN

Hikayat Sepotong Kisah Korupsi ~ 683

RAKJAT BERDJOANG

Daerah Berontak, Siapa Dalang? ~ 686

SUARA MERDEKA

Koran Daerah Bernapas Nasional ~ 689

UTUSAN INDONESIA

Tahu Menghargai Pahlawan ~ 692

BASIS

Jurnalisme Seribu Mata ~ 695

HARIAN RAKJAT

Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit ~ 699

IPPHOS

Sejarah dalam Selembar Foto ~ 703

KOMPAS

Nugroho Notosusanto Berhasrat Memperdalam Keinsafan ~ 706

MARHAEN

Si Penyambung Lidah Karno di Makassar ~ 709

MINGGUAN HARAPAN

Bedil Berpeluru Civic Mission ~ 712

PEMUDA

Kenapa Mesti Mesti Menyembah Pada Angkatan Tua ~ 715

PUTERA SAMUDERA

Para Penjaga Laut ~ 718

STAR WEEKLY

Di Satu Putaran Jalan Hidup PK Ojong ~ 721

TEGAS

Tanah Rencong Menuntut “Kemerdekaan Kolonial� ~ 724

MIMBAR INDONESIA

Secangkir Kopi dan Berita Hangat di Sore Hari ~ 727

OLAHRAGA

Pengabar Krida Negara ~ 730

INDONESIA

Dari Idrus Hingga Armijn Pane ~ 733

SULUH INDONESIA

Karena Buku Belajar Memahami Soekarnoisme ~ 736

SURABAYA POST

Terbit Sore dengan Jurnalisme Putih ~ 739

DUTA MASJARAKAT

Bintang Sembilan di Tengah Prahara’ 59 ~ 742

WARTA BANDUNG

Bersama Belok Kiri ~ 745

MINGGUAN SADAR

Media Hiburan Melek Politik ~ 748

PROKLAMASI

Soekarno Kawin Lagi ~ 751

REPUBLIK

Djelek-djelek Tetap Djakarta Kite ~ 754

BUSINESS NEWS

Setia Memediasi Kebijakan Ekomomi ~ 757

SI KUNTJUNG

Legenda Majalah Anak ~ 760

IBU

Bukan “Perempuan�, Tapi “Wanita� ~ 763

PELOPOR

Kabar Buruk Buat Bung Karno ~ 766

REPUBLIK

Res Publica di Kota Atlas ~ 769

SKETSMASA

Dengan Berita Mencerdaskan Bangsa ~ 772

POS INDONESIA

Banyak Cara Berkelit dari Jeratan Delict ~ 775

SELECTA

Diberangus Hanya Karena Mengatai Soeharto Bukan Anak Petani ~ 778

WARTA

Ibu Maju, Bangsa Maju ~ 782

PANDJI MASYARAKAT

Penyambung Lidah Tradisi Islam Reformis ~ 785

DUTA PANTJASILA

Algojo Pengikis Separatis ~ 788

SASTRA

Kiri Kanan Jadi Lawan ~ 791

SINAR HARAPAN

Harga Sebuah Keberanian ~ 794

TVRI

Si Pionir yang Terengah di Pasar Siar ~ 797

BAHTERA AMPERA

Di Laut (Kapan) Kita Jaya ~ 800

INDEPENDENT TJENDRAWASIH

Menulis Irian Barat dari Jakarta ~ 803

INTISARI

Yang ‘Seksi’ yang ‘Berdisi’ ~ 806

ANGKATAN BERSENDJATA

Di Bawah Lindungan Para Jendral ~ 809

BALI POST

Dari “Pengemban Pancasila� hingga “Matahari dari Bali � ~ 812

BERDIKARI

Di Tengah Kurun Pembersihan PKI ~ 815

BERITA YUDHA

Lolos Dari Surat Keputusan ~ 818

DWIKORA

Gagal Memediasi Bung Karno dan Rakyat ~ 821

KOMPAS

Jurnalisme Anggun Dari Palmerah ~ 824

NUSA PUTERA

Yang Selamat dari Badai ~ 828

WARTA BERITA ANTARA

Lumbung Informasi, Terbit Pagi-Sore ~ 831

API ISLAM

Berwajah Islam, Berotak Pancasila ~ 835

GALA

Jitu Mengail Pengiklan ~ 838

HARIAN KAMI

Amarah dari Sebuah Angkatan ~ 841

HORISON

Di tengah Sengkarut Langit

Sastra Indonesia ~ 844

KARTIKA

Pasukan Pengawal Orde Baru di Jawa Tengah ~ 847

MASA KINI 850

Di Kota Pelajar Membangun dan Mendidik ~ 850

MERTJU SUAR

Matahari Pagi di Jogjakarta ~ 853

PELOPOR BARU

Requiem Senja di Koran Sore ~ 856

PIKIRAN RAKYAT

Raja Koran di Tatar Pasundan ~ 859

PELOPOR JOGJA

Dua Era Membela Pancasila ~ 862

NUSA TENGGARA

Melihat Nusa Dari Cara Pandang Tenggara ~ 865

AKTUIL

Yang Kreatif yang Laris ~ 868

OPINI INDONESIA

Tukang Minyak Jualan Koran ~ 871

D&R

Ada Detektif di Pers ~ 874

ELSHINTA

“News and Talk� 24 jam Non Stop ~ 877

REVOLUSIONER

Jangan Main-main dengan Baju Loreng ~ 880

SINGGALANG

‘Jurus 4 Pendekar’ ~ 883

EKSPRES

Yang Kritis yang Dilindas ~ 886

TRUBUS

Membangun Indonesia Berswadaya ~ 889

MEDIA INDONESIA

Koran dengan Editorial yang “Galak� ~ 892

MIMBAR MASYARAKAT

Saksi Bisu Matinya Pers Indonesia ~ 895

POS KOTA

Bertarung dalam Isu-isu Urban ~ 898

SINAR INDONESIA BARU

Ramuan Sang Tabib ~ 901

KENDARI POS

Awalnya Koran Beringin ~ 905

BANJARMASIN POST

Membelah Arus Kapuas ~ 908

BERITA BUANA

Memulai Hari di Siang Bolong ~ 911

NYATA

Lebih dari Sekadar Hiburan bagi Wanita ~ 915

PRISMA

Rumah Kelahiran Cendekiawan Eksos ~ 918

SUARA KARYA

Bunyi Bising dari Balik Beringin ~ 921

TEMPO

Dari Berita ke Cerita ~ 924

FEMINA

Ratu Majalah Wanita Indonesia ~ 929

KARTINI

Pernah Seatap dengan Madonna ~ 932

MONITOR

Arswendo dan Sang Nabi di Tabloid Iher ~ 935

TOPIK

Kalem dalam Tutur Kata,

Objektif dalam Berita ~ 938

DIAN

Membangun Manusia Pembangun ~ 941

HARIAN DUTA

Corong Orba di Pucuk Rencong ~ 944

LAMPUNG POST

Lampung, Pers, dan Kepercayaan ~ 947

PELITA

Bintang yang Berkali-kali Terbentur Dinding ~ 951

JAKARTA JAKARTA

Jurnalisme Sastra Fotografi ~ 954

FAJAR

Menjadi Matahari di Kota Angin Mamiri ~ 957

JAWA POS

Menanam Radar di Setiap Kota ~ 960

SARINAH

Pesona yang Tak Lekang ~ 963

THE JAKARTA POS

Dipersembahkan untuk Pembaca (Berbahasa) Asing ~ 966

BOLA

Nasionalisme di Lapangan Hijau ~ 969

BISNIS INDONESIA

Dari Bekas Bengkes Hingga Wisma ~ 972

SABILI

Mujahid Tahan Kritik ~ 975

JAMBI INDEPENDENT

Dari Satu Kantor ke Kantor Lainnya ~ 978

INFO KOMPUTER

Swalayan Maya di Musim Digital ~ 981

PONTIANAK POST

Tonggak dan Tombak Rakyat Kalimantan Barat ~ 984

PRIORITAS

Mati Dini Si Bayi Ajaib Dari Gondangdia ~ 987

HARIAN SURYA

Kala Seniman Berebut Surat Keputusan Penguasa ~ 990

WAWASAN

Koran Sore dengan Gaya Blak-blakan ~ 993

EDITOR

Membangun Indonesia dengan Kritik ~ 996

MANADO POST

Lahir dari “Baku Belante� ~ 1000

SRIWIJAYA POST

Untuk Wong Kito di Bumi Sriwijaya ~ 1003

RCTI

Televisi Pertama Swasta Indonesia ~ 1007

SUARA PEMBARUAN

Sepotong Hikayat si Pemain Pengganti ~ 1010

KALTIM POST

Dari Oost Borneo untuk Indonesia Timur ~ 1013

NOVA

Inspirasi Wanita Indonesia ~ 1016

SERAMBI INDONESIA

Bertahan dari Pelbagai Hempasan ~ 1019

WARTA EKONOMI

Memikat dan Mengikat dengan Peringkat ~ 1023

YOGYA POST

Yogya dan Kopi Sore Ala Emha ~ 1027

FORUM KEADILAN

Membincangkan Delik dan Perkara ~ 1030

ulumul qur’an

Cendekiawan Muslim Menjawab Tantangan Zaman ~ 1033

RIAU POS

Mengembalikan Kejayaan Raja Ali Haji ~ 1037

TRIJAYA

Mengudara Lebih Dari Sekadar Musik ~ 1040

POS KUPANG

Oase di Padang Gersang ~ 1043

ANTV

Lima Jam Lalu Jadi Bintang ~ 1046

DETIK

Kami Akan Tetap Berpikir Merdeka ~ 1049

CENDRAWASIH POS

Obor di Rimba Gelap Papua ~ 1052

KALTENG POS

Di Antara Rimba dan Sungai ~ 1055

REPUBLIKA

Harian Islam Generasi Ketiga ~ 1058

GATRA

Lahir dari Geger Breidel ~ 1061

KALAM

Menolak Keseragaman Kebudayaan ~ 1064

SCTV

(Dari) Satu untuk Semua ~ 1068

INDOSIAR

Awalnya Menjanjikan ~ 1072

PERSPEKTIF

Masa Depan Blog Pada Isinya ~ 1075

KONTAN

Menyuarakan Kemandirian ~ 1078

JURNAL PEREMPUAN

Dari Jurnal ke LSM Profesional ~ 1081

SOLOPOS

Koran Muda di Kuburan Pers ~ 1085

MALANG POST

Ikon di Kandang “Singo Edan� ~ 1088

DETIK.COM

Karena Waktu Jantung Informasi ~ 1091

CEK & RICEK

Baca Gosip atau Fakta ~ 1094

AMBON EKSPRES

Untuk yang Mencintai dan Menjaga Ambon ~ 1097

FLORES POS

Bertahan tanpa Naungan Konglomerasi ~ 1100

PADANG EKSPRES

Membangun Pers Lokal ~ 1103

KBR 68H

Mengudara dari Sabang sampai Merauke ~ 1106

PANTAU

Empat Format dan Sembilan Elemen Jurnalisme ~ 1110

RAKYAT MERDEKA

Kembalinya “Jurnalisme Mimbar� ~ 1113

metro tv

Barometer Berita Tanpa Jeda ~ 1116

GAUNG NTB

Maju Terus Berkata Benar ~ 1120

LAMPU MERAH

Dari Judul Ketahuan Isi ~ 1123

TRANS TV

Ini Tentang Televisi dan Bakso ~ 1126

KORAN TEMPO

Pelopor Trend Baru Koran Kompak ~ 1129

ATVLI

Dari Aceh Sampai Papua Berjajar Layar Kaca ~ 1132

PULSA 1136

Lembar Ragam Telepon Genggam ~ 1136

TOPSKOR

Mengolah Raga Sepanjang Kala ~ 1139

SEPUTAR INDONESIA

Datang Pagi Datang Sore ~ 1142

PANYINGKUL

Jurnalisme Warga dari Makassar ~ 1145

JURNAL NASIONAL

Mediasi Publik-Republik ~ 1148

Wednesday, December 10, 2008

BUKU BARU 3

Telah terbit tiga buku dari riset Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tentang gerakan kiri kebudayaan yang luar biasa bergemuruhnya selama 15 tahun menahan arus besar imperialisme modal dan intervensi asing (Amerika Serikat) hingga mereka sangsai di depan sejarah. Ketiganya adalah:

(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
15 x 24 cm; ISBN 978-979-18475- 0-6; 581 halaman. Cetak massal dan bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.

(2) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965
Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965). 15 x 24 cm; ISBN: 978-979-18475- 1-3; 966 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Bisa dipesan ke 081-328690269.

(3) LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965
Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan�, “diadaptasi�, dan “dipraktikkan� di lapangan kesusastraan Indonesia. 15x24 cm; ISBN 978-979-18475- 2-0; 558 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Silakan pesan ke 081-328690269


Selamat Jalan Lekra
(Dinukil dari Bab Penutup ‘Lekra Tak Membakar Buku’)


Sebelum mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong- persegi raut Indonesia. Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblang nya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.

Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku “humanisme universil�, “seni untuk seni�, “kontrarevolusioner�, mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembak an sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.

Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?

Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.

Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, “sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI�. Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang “Front Anti Komunis� yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu�; tapi juga “nyerempet� ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: “Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot�.

Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar� yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita� itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim�.

Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim� atau “tjelana potlot� kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964. Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring� No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita “BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI�.

Kerdjabakti jang dilangsungkan pada tg. 8-4 jl. dipimpin oleh Subsecom Pesanggrahan - Banjuwangi, dan diikuti oleh 532 petjinta PKI berhasil membersihkan kantor ODM setempat, halaman tangsi polisi, kantor Djapen, makam Pahlawan, Kuburan2, memperbaiki djalan Pasar, menggali parit sepandjang 2 KM dan membersihkan/ mengkapur 13 buah mesdjid (surau).

Kerdjabakti tsb. disaksikan oleh Ass. Wedana setempat.

Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur'an". Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU.

Tentang peristiwa Kanigoro itu sendiri, silakan dibaca berita sanggahan berikut ini pada Harian Rakjat edisi 11 Februari 1965:

Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.

Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.

Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.

Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom....

Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar".

Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai “turis�, melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan- buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut “tiga sama�: sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul. Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.

Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik. Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari “Lenso� dari Maluku.

Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah. Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.

Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu “Selamat Datang� yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.

Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes. Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham---dan tentu saja PKI---tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar. Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika- Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara-negara blok Asia-Afrika- Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.

Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.

Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferen si internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.

Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan- cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia. Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan- cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia.

Tentang Aku, Theng Kok Teng alias Hendi

Aku, Hendi (nama yang dipaksakan rezim Orde Baru biar terkesan cinta Indonesia). Semua warga Tionghoa, bukan China diharuskan memakai nama Indonesia sebagai imbas dari meletusnya G30S. Peristiwa yang berpengaruh besar pada Tionghoa.

Nama asli ku Theng kok Teng, yang sampai detik ini tak pernah kuketahui artinya.
Aneh memang. Aku memang terlahir dari rahim ibu Tionghoa. Tetapi tidak pernah mengerti dan paham apa itu tradisi Tionghoa. Sebutan "Tionghoa Murtad"sering dialamatkan kepada diriku.

Sejak usia 13 tahun (kelas 6 SD) aku selalu bertanya pada mama dan guruku, kenapa tidak ada menteri dari kalangan Tionghoa. Mereka tidak pernah memberi jawaban yang memuaskan. Hanya jawaban tidak boleh. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat diriku bercita-cita menjadi politisi, tentara. Orang tuaku selalu menertawakan cita-citaku ini.

Pencarian jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah berhenti. Hingga SMA, selalu membayangkan berpakaian tentara AD. Begitu gagah menjadi Tionghoa pertama berseragam loreng. Semua berubah tatkala terjadi kerusuhan Mei 1998. Aku menjadi paham ketika bersentuhan dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan hingga terjun menjadi aktivis pelajar di sekolahku. Terjawab sudah pertanyaanku selama ini. Sebuah rezim kediktatoran yang membuat semua itu. Membuat batas-batas bagi orang Tionghoa yang hanya boleh bergerak di bidang ekonomi saja. Batasan-batasan inilah yang memicu konflik rasial.

Lima tahun dari peristiwa itu aku terus bergerak dalam pergerakan, tergabung dalam lembaga mahasiswa luar kampus. Bersama teman-teman membantu puluhan becak di Palembang, ratusan petani di Sumatera Selatan.

Hingga kini, anti rasial selalu terpatri dalam jiwaku. Aku ingin semua menjadi satu tanpa ada perbedaan warna kulit, agama, atau apapun.

"Si Tionghoa Murtad"

buku baru 2

Buku Baru

Pram dan Cina

Hong Liu, Goenawan Mohamad,

dan Sumit Kumar Mandal

Oktober 2008, 160 hlm, 11,5 X 17,5 cm

Rp 32.000

****

Kurangnya penelisikan mengenai persepsi Pramoedya yang kompleks terhadap RRC sesungguhnya menghalangi kita untuk bisa memahami Pramoedya secara lebih utuh, terutama peran pentingnya dalam gerakan kebudayaan kiri Indonesia selama paruh pertama dekade 1960-an. Hong Liu

(Direktur Centre for Chinese Studies dan Confucius Institute University of Manchester, Inggris).

Membaca Hoakiau di Indonesia membuat saya tercengang akan kukuhnya Pram dengan argumentasi. Ia siap dengan catatan sejarah, statistik dan kutipan koran. Barangkali ini memang harus dia lakukan. Pramoedya mengguncang asumsi umum yang berlaku. Pram mengecam: ‘Perikemanusiaan limited’ yang terbatas. Goenawan Mohamad

(Penyair dan kolomnis Majalah Tempo).

Dengan mengaitkan dirinya secara akrab dengan Chen, seorang perempuan Cina, Pram menyiratkan bahwa dirinya sendiripun belum tentu tidak mengandung darah Cina. Sebab itu, ia tidak dapat mempromosikan anti-Cina untuk kemurnian rasa Indonesia . Pram memprovokasi pihak-pihak anti-Cina. Secara tidak langsung ia bertanya kepada mereka ini, apakah Anda yakin “bersih” dari darah Cina? Ia menyatakan bahwa darah Tionghoa mengalir di dalam tubuh Indonesia . Sumit Kumar Mandal

(Pengajar Institut Kajian Malaysia dan Antarbangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia ).

Buku Baru

Braga;

Jantung Parijs van Java

Ridwan Hutagalung dan

Taufanny Nugraha

Oktober 2008, 180 hlm, 11,5 X 17,5 cm

Rp 35.000

****

Runutan cerita dalam buku ini mengajak kita untuk menelusuri lintasan paling mahsyur di Kota Bandung pada awal abad ke-20. Jika pernah kenal “Parijs van Java“ sebagai sanjungan Bandung pada dasawarsa 1930-an, mungkin hanya Jalan Braga yang paling mewakili rupa dari sanjungan itu. Julukannya sebagai “de meest Europeesche winkelstraat van Indie” atau ‘jalanpertokoan paling (bernuansa) Eropa di seluruh Hindia’ menunjukkan bahwa lintasan yang satu ini punya keunikan dan daya tarik yang khas. Buku ini dibuat laiknya panduan wisata jalan kaki menelusuri Jalan Braga. Kisah Braga dimulai dari ujung selatan lintasannya hingga berakhir di ujung utaranya. Menelusuri Braga dipandu buku ini adalah salahsatu cara mengasyikan untuk mengenal sekelumit kisah kejayaan Bandung tempo doeloe.

****

Bisa didapatkan di toko-toko Gramedia & Gunung Agung serta Toga Mas mulai 11 November 2008. Dapatkan diskon 15% dengan memesan langsung ke Penerbit Komunitas Bambu + ongkos kirim untuk wilayah Jabodetabek atau paket untuk luar Jabodetabek.

“Jadilah pembaca pertama buku berharga ini”

Pemesanan Hubungi:

Komunitas Bambu
Jl. Pala no. 4B Beji Timur Depok
Tlp: 021-772 06 987
sms pesanan: 0813 8543 0505


email pesanan: komuntasbambupemasa ran@yahoo. com

atau komunitasbambu@ yahoo.com

Pulau Kemaro

Pulau Kemaro, Legenda Palembang-Cina - Akulturasi Budaya di Sungai Musi


Palembang yang terkenal dengan Sungai Musi-nya memberikan suasana rekreasi akan wisata airnya. Salah satu wisata di Sungai Musi yang sangat menarik adalah Pulo Kemaro. Pulau yang terletak di sebelah timur Kota Palembang sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera, dengan luas wilayah kurang lebih 24 hektar. Potensi yang dikembangkan di Pulau Kemaro ini wisata budaya dan wisata keagamaan. Dalam perayaan Cap Go Me ribuan masyarakat Cina termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri berkunjung ke pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung sampai 2-3 hari.
Palembang yang terkenal dengan Sungai Musi-nya memberikan suasana rekreasi akan wisata airnya. Salah satu wisata di Sungai Musi yang sangat menarik adalah Pulo Kemaro. Pulau yang terletak di sebelah timur Kota Palembang sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera, dengan luas wilayah kurang lebih 24 hektar.

Potensi yang dikembangkan di Pulau Kemaro ini wisata budaya dan wisata keagamaan. Dalam perayaan Cap Go Me ribuan masyarakat Cina termasuk yang datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri berkunjung ke pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. Perayaan ini berlangsung sampai 2-3 hari.

Pulau kemaro dalam bahasa Indonesia berarti kemarau, dinamakan demikian karena pulau ini tidak pernah digenangi air walaupun volume air di sungai Musi sedang meningkat. Sebagaimana yang diceritakan oleh Harun, pemandu wisata di Pulau Kemaro, Pulau Kemaro ini memiliki legenda tentang kisah cinta seorang putri Palembang yaitu Siti Fatimah dengan anak seorang putra raja di Cina bernama Tan Bun Ann. Kisahnya dimulai saat Tan Bun Ann ketika itu melamar Siti Fatimah untuk diperistri. Ayah Siti Fatimah, seorang raja di Sriwijaya, mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann bersedia menerima syarat itu, maka disediakanlah sembilan guci berisi emas.

Karena khawatir akan ancaman perompak, tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann, keluarganya menaruh sayur-mayur di atas emas-emas di dalam guci itu. Sesampainya di Sriwijaya, ketika akan menyerahkan kesembilan guci tersebut Tan Bun Ann memeriksa isinya. Betapa terkejut dan marahnya dia ketika melihat isi guci tersebut adalah sayur-mayur. Tanpa memeriksa lebih dahulu, guci- guci tersebut dilemparkan ke sungai Musi. Ketika guci-guci tersebut dilemparkan, ada satu guci yang pecah, sehingga menampakkan kepingan emas yang ada di dalamnya.

Melihat hal itu, Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan menceburkan diri ke Sungai Musi. Siti Fatimah pun lalu ikut menceburkan diri sembari berkata "Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburan saya!". Itulah legenda asal-usul Pulau Kemaro. ”Nah bangunan yang menjadi latar belakang foto di atas, adalah kuil yang menjadi tempat peribadatan warga-warga keturunan Cina, dan di dalamnya ada makam Siti Fatimah, berupa gundukan tanah dan ada dua gundukan tanah yang agak kecil yaitu Panglima dan dayang Siti Fatimah,” tutur Harun.

Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan. Dengan menggunakan kayu panjang seukuran panjang dua tangan manusia, kayu panjang sebagai media melihat sejauhmana peruntungan yang diinginkannya. Jika dua tangan yang direntangkan lebih panjang dari batas yang ditandai oleh karet gelang pada kayu tersebut dari pengukuran rentang tangan pertama, maka penziarah memiliki peruntungan yang lebih baik di masa depan. Jika tidak sampai batas karet gelang tersebut adalah sebaliknya.

Apakah hal tersebut mutlak adanya, tidak ada seorang pun yang memastikan. Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu tonggak kehadiran China dalam sejarah perkembangan Palembang. Arsitektur klenteng mencerminkan pula filosofi bangunan khas China, sebagaimana terdapat di berbagai klenteng di daerah lain. Seluruh bangunan berwarna dominan merah dengan tambahan warna kuning keemasan. Bangunan terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.

Memasuki Pulau Kemaro memang sarat dengan nuansa mistis. Walau dari legenda Siti Fatimah dan Tan Bun An, Pulau Kemaro sering didengungkan sebagai tempat untuk meminta jodoh. Penjaga Pulau Kemaro, Linda menuturkan secara gaibnya bahwa makam Siti Fatimah didampingi panglima dan dayang, depannya adalah suaminya. Menurutnya masalah jodoh adalah tergantung dari niat manusianya. “Jika kita sudah ada niat, walaupun hanya dipulaunya saja jika dia pulang maka jodoh akan didapatkan,” terang Linda. Linda juga mengisahkan, bahwa di pulau yang sudah ada sejak 400 tahun yang lalu ini pernah ada dua orang tukang becak yang ingin mendapatkan istri. Mereka mendatangi Pulau Kemaro. “Ada yang membawa satu pasang angsa, dan ada yang membawa satu pasang burung. Saat mereka pulang, mereka mendapatkan jodohnya masing-masing, tetapi itulah, masalah jodoh tidak terlepas dari kehendak yang kuasa,” terangnya.

Hal yang ingin ditegaskan Linda adalah, di Pulau Kemaro ini terlihat adanya dua unsur keyakinan yang tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan didalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan sang pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” tukasnya. (***)

blogger templates | Make Money Online