Amazon

marketiva

Monday, May 31, 2010

Kutipan Rumah Kaca,

...kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia...

(Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, hal 436)

SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA; Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?

SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA:
                  Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?
 
Pramoedya Ananta Toer *)

Saya warganegara Indonesia dari ethnik Jawa. Kodrat ini
menjelaskan, bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang
didominasi oleh sastra wayang, lisan mau pun tulisan, yang
berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, serta
kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada
kewibaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari
mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-
kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali. Pekerjaan pokok
kasta satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang
agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria,
yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan
para raja menjadi mitos yang fantastik.

Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan
Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer
terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah
mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan
kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional.
Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi
Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih
menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mytos ini
melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram
beristerikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan
berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan
asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa
disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan
kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi
batin rakyat Mataram.

Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungan dengan
negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan
kastanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya
adalah menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang
tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik
daripada yang sekarang. Pendapat ini yang membuat saya
meninggalkan sama sekali sastra demikian.

Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan
berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, sejauh pengalaman saya,
langsung saya bertemu dengan sastra hiburan, memberikan umpan
pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan
Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung
keekuasaan agar masyarakat tak punya peerhatian pada kekuasaan
negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak
mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa
pembacanya berhenti di tempat.

Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang
kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai
sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi
tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya
tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai
baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu
dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa
dan penggunaannya dianggarkan pada orientasi baru peranan
individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan
ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi.

Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap
dan sitiuasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat
individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari
sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan
kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai
individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak. Sampai di
sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevalusi
kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena
pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan,
bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah
melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah
dikatakan pengarang - dengan sendirinya dari golongan ketiga ini
- dinamai opposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang
diri dalam kebisuan.

Di negara-negara dengan kehidupan demokratis beratus tahun kalah-
menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan
berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis
di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang
dijajahnya. Sebagai akibat di negeri-negeri jajahannya yang tak
mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa
dilahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional
tentang gengsi pribadi dan panutan patrimonial.

Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade
kedua abad ini. Sebelumnya atas karya sastra sensor lebih banyak
ditujukan pada mass-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum
tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan.
Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco
Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum,
dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat-
setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial
Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya
itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah
dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.

Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan.
Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim terdesak
kekuatan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa
yang agraris kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi
petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot.
Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "teposliro" (tahu diri),
kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai
dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai
pada puncak kekuasaan. Penggunaaan eufemisme (= Jawa : kromo)
sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan
menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam
sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi.
Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang
kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra
Indonesialah sensor kekuasaan bisa terjadi.

Idea-idea dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat
modern Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin
dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa.
Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat
tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya lembaga sensor
memang perlu diadakan.

Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang
menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia di Jawalah
penduduknya berkembang sebagai faktor-faktor klimatologis yang
mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis
Belanda membuat Jawa jadi pusat imperium dunianya di luar Eropa.
Dengan kepergiannya, masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan
penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah
budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat
dihindarkan. Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa
menekan ini adalah "tepo-sliro", kehidupan kekuasaan sekarang
dinamai dengan bahasa Inggris "self-cencorship". Nampaknya elit
kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi
salah satu faset dalam kehidupan modern Indoensia bagaimana orang
menyembunyikan atavitas/atavisme.

Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam
sastra avant garde. Saya nilai pengarangnya mempunyai keberanian
mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan.
Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus
menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang
merasa terancam kemapanannya.

Jadi sampai seberapa jauh karya sastra dapat berbahaya bagi
negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini
cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia
ditulis dengan nama jelas, diketahui dari mana asalnya, dan juga
jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki
barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia
hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan
pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan
kekenyalannya.

Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar
sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant garde. Perubahan
demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian
demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah
tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan
peralihan pendudukan militeristis Jepang. Dalam masa demokrasi
liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila yang tak
banyak acuhkan, dalam masa demokrasi terpimpin, sewaktu Presiden
Soekarno dengan segala konsekuensinya hendak mandiri dan
mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingin para
adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat. Soekarno
sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa
pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen,
Declaration of Independence Amerika Serikat, dan Manifes Komunis
dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang
ditandai dengan gerakan de-Soekarnoisasi, rujukan-rujukan
Pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada
upaya dari seorang sejarawan orde baru yang mebuat teori bahwa
pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan
ini tidak pernah terbukti ada karya sastra yang memberikan
pengaruhnya. Dan memang sastra avant garde praktis belum pernah
lahir. Karya-karya sastra Indonesia praktis baru bersifat
deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir itu terjadi
semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang
terjadi sama kerasnya dengan penindasannya. Individu tersebut,
Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang
jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai
binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah
Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang
harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan
menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironisnya
masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak
tersebut dan umumnya tak dikaitkan dengan masa pendudukan
militeris Jepang waktu ia menciptakannya.

Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya
percaya bicara tentang sastra mana pun adalah juga bicara -walau
tak langsung- tentang sastra regional dan internasional
sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang
individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang
mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman
ummat manusia.

Berdasarkan historinya Indonesia memerlukan sebarisan besar
pengarang dari golongan avant garde. Berabad lamanya rakyat bawah
membiayakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme mereka
kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau
feodalime sebagai suatu sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi
kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elit
kekuasaan mencoba melestarikannya. Sstra avant gardelah yang
menawarkan evaluasi, reevalusi, pembaruan, dan dengan sendirinya
keberanian untuk menanggung resikonya sendirian.

Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali
tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti
dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant garde hanya
mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkaran elit kekuasaan,
yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa
terlepas.

Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan
sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan
nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya
selama 35,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun
dirampas kekuasaan militer semasa orde lama, dan 30 tahun semasa
orde baru, diantaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16
tahun sebagai ternak juga hanya dengan kode ET, artinya tahanan
di luar penjara. Sebagai pengarang barang tentu saya berontak
terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba
berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan
mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini?

Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas
permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya
tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai
lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan.

Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat
dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut
pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat,
apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa
seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi suatu
kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang
mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik.
Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada
kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak
bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan ummat
manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang
mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan
dengan politik.

Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra
harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di
tangan dan dari hati politisi yang kolot. Kalau ada yang kotor
barang tentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sastra
sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari
pikiran para pengarang yang politiknya adalah tidak berpolitik.
Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian,
ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan
selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana
eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang
"menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang
yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.
 
* Pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika menerima ia
penghargaan Magsaysay, di Manila,
 

Kutipan Rumah Kaca,

...gairah kerja adalah pertanda daya hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut...

(Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, hal 460)

RASIALISME ANTI-TIONGHOA DAN PERCOBAAAN MENJAWABNYA

RASIALISME ANTI-TIONGHOA DAN PERCOBAAAN MENJAWABNYA
oleh: Pramoedya Ananta Toer
22 Oktober 1998
 
Rasialisme anti-Tionghoa terbesar dan pertama kali terjadi pada 1740 jelas hasil permainan kekuasaan Kompeni alias VOC. Sumber-sumber otentik yang dipergunakan Jan Risconi dalam disertasinya Sja'ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina (1935) cukup jelas. Sayang dissertasi yang membahas syair berbahasa Melayu aksara Arab ini ditulis dalam bahasa Belanda sehingga untuk masa sekarangan ini agak sulit menjadi sumber rujukan. Kasus 1740 adalah rasialiane anti Tionghoa dari pihak Kompeni, dari pihak kekuasaan orang Barat/Belanda.
Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama kali di Solo, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-eksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik ethiknya yang dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan politik massa mengambang OrBa. Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya. Pada pihak Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulangpunggung kekuasaan, kekuasaan kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu.
Kerusuhan rasial anti-Tionghoa terjadi 4 tahun kemudian di Kudus, 1916. Walau pun kejadiannya jauh lebih besar, meliputi seluruh kota industri rokok ini, disertai pembunuhan di berbagai tempat, namun sebagai peristiwa sebenarnya hanya merupakan edisi kedua dari yang pertama. Beruntunglah bahwa Tan Boen Kim telah membukukan peristiwa ini dengan judul Peroesoehan di Koedoes, 1918. Namun masih ada yang patut disayangkan. Karya yang didasarkan pada pemberitaan pers ini tak sampai mengungkap latarbelakang peristiwa. Tentang ada-tidaknya tangan kekuasaan yang bermain, ia hanya menyesalkan sikap para pejabat setempat, bukan sebagai lembaga kekuasaan.
Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10-1960. Mengagetkan, mengherankan, mengingat bangsa Indonesia yang mereka ini telah merumuskan aspirasi perjuangan nasionalnya dalam Pancasila. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, tak lain dari reaksi atas PP 10 tsb. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Kebetulan pada waktu itu saya "mengajar" di Fakultas Sastra Universitas Res Publika milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi dan bukan lagi milik Baperki. Dari para mahasiswa- mahasiswi, sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, saya menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRT, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Yang mengherankan tentang rasialisme anti-Tionghoa ialah: mengapa ini bisa terjadi dalam alam Indonesia Merdeka? Di samping Indonesia memiliki Pancasila bukankah pihak etnik Tionghoa juga punya saham dalam gerakan kemerdekaan nasional sampai pencarian input untuk panitya persiapan kemerdekaan menjelang akhir pendudukan Jepang. Bukankah sumbangannya pada revolusi juga ada, dan tidak semua etnik Tionghoa bergabung dengan Po Ang Tui yang berpihak pada Belanda, sebagaimana halnya tidak semua Pribumi berpihak pada Nica? Juga dalam alam Indonesia merdeka?
Tentang ini dengan mudah siapa saja dapat mengikuti tulisan Siau Giok Tjhan Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar, Yayasan Teratai, Jakarta-Amsterdam Mei 1981. Dalam paparan lebih luas hubungan Pribumi-Tionghoa, sejak jaman migrasi, penyeberangan budaya Dongson atau perunggu sampai kurun 70-an abad ini, meliputi pembauran di seluruh Indonesia telah ditulis oleh Yoe-Sioe Liem dalam karyanya Die ethnische Minderheit der Uberseechinesen im Entwicklungsprozess Indonesiens (Verlag Breitenbach, Saarbrucken, Fort Lauderdale, 1980). Bukankah dalam momentum pembauran purba budaya Dongson Jawa memiliki tangga nada selindro, karena datangnya melalui wilayah kedatukan Cailendra? Belakangan ini semakin banyak diterbitkan paparan tentang etnis Tionghoa di Indonesia, nampaknya kurang mendapat perhatian.
Kurun perjuangan nasional dan saham etnis Tionghoa di dalamnya telah ditulis oleh Siauw Giok Tjhan sebagai pelaku sejarah. Tokoh luarbiasa di samping Siauw adalah Liem Koen Hian,  Kwee Thiam Tjing pendiri Partai Tionghoa-Indonesia, September 1932. Ia menggalang kerjasama dengan para tokoh puncak gerakan kemerdekaan nasional pada masanya. Malahan sebagai pribadi, biar pun bukan hartawan, ia selalu memberikan bantuan yang mereka perlukan. Ia sejak semula menjadi penganjur hapusnya diskriminasi rasial untuk mempermudah dipupuknya rasa senasib antara semua putera Indonesia, termasuk etnis Tionghoa. Partai ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa organisasi, dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan bahasa Indonesia pada waktu itu sinonim dengan bahasa pers Melayu-Tionghoa, sekali pun di antara para anggotanya lulusan perguruan tinggi Belanda.
Nasib dua orang pejuang gerakan kemerdekaan ini, yang pada masa kegiatannya, dua jendral besar Indonesia justru menjadi serdadu Knil, nyaris sama. Mereka juga menjadi kurban OrBa, menjadi bagian dari jutaan orang Indonesia yang jadi kurban OrBa. Mereka menjadi tapol OrBa. Bebas sebagai tapol pada 1 Mei 1979, ia meninggalkan Indonesia bermukim di Belanda dan wafat di sana. Liem Koen Hian sebagai tapol OrBa mengalami kekecewaan berat, karena sebagai tapol sama sekali tidak mendapat perhatian, jangankan pertolongan, dari tokoh-tokoh puncak semasa gerakan kemerdekaan nasional yang pernah dibantunya. Bebas sebagai tapol OrBa ia langsung menanggalkan kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia, dan sejak itu tak pernah terdengar lagi kabar-beritanya.
Di atas ini adalah kartu anggota Partai Tionghoa Indonesia atas nama Kho Sien Hoo, cabang Magelang, dengan tandatangannya sendiri dan tandatangan Liem Koen Hian, tertanggal 5 Januari 1933. Bukan suatu kebetulan kartu anggota Kho Sien Hoo direproduksi di sini, karena sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia ia mulai bergabung dengan gerakan kemerdekaan nasional. Jadi hanya sebagai contoh di antara yang banyak yang kurang diketahui. Semasa revolusi ia menjadi komandan tertinggi Laskar Rakyat Magelang dan Kedu, bersama kesatuan BKR merampas senjata Nakamura Butai dan melawan Inggris-Ghurka dan Nica di Ambarawa pada awal revolusi.
Ia mengubah namanya nenjadi Surjo Budihandoko tanpa melalui pengadilan. Dilahirkan pada 1905 ia wafat di Jakarta pada November 1969. Bintang-bintang pada dadanya adalah pengakuan resmi tentang jasa-jasanya pada tanahair dan bangsa.
Bahwa yang dipampangkan di sini hanya Surjo Budihandoko bukan berarti hanya beliau yang berjasa pada tanahair dan bangsa Indonesia. Cukup banyak, diakui atau tidak jasa-jasanya. Makanya mengherankan bila terjadi kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Celakanya justru yang terjadi pada penutup era OrBa, Mei 1998. Padahal justru semasa OrBa Pancasila diajarkan sejak dari SD sampai perguruan tinggi. Atau memang sudah diprogram jadi ajaran "Pancasila Bibir"? Mungkinkah Siauw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian juga kecewa berat terhadap Pancasila "Bibir" ini sehingga yang pertama meninggalkan Indonesia dan yang kedua menanggaIkan kewarganegaraannya?
Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan.
Pada 1946 awal waktu saya naik keretapi Jakarta menuju ke basis militer di Cikampek. Di samping saya duduk seorang pemuda yang meminjami buku karya S. Soedjojono, pelukis nasional itu. Saya sudah lupa judulnya. Yang teringat dari bacaan itu hanya satu bagian kecil: tentang Mongoolse Vlek, tembong biru pada pantat atau bagian bawah lain dari bayi yang baru dilahirkan, satu isyarat bahwa si bayi punya darah Mongoloid atau darah Cina. Padahal bayi-bayi Indonesia yang berkulit sedikit lebih cerah dari coklat bertembong biru. Saya tidak tahu jawaban para anthropolog atau pun kedokteran tentang kebenarannya. Beberapa tahun kemudian seseorang mengatakan: sekiranya Hitler dalam, upayanya memurnikan darah Aria pada bangsa Jerman tahu tentang adanya Mongoolse Vlek alias tembong biru ini mungkin beberapa juta orang lagi akan dilikwidasi Nazi. Soalnya dalam abad 13 balatentara Kublai Khan bukan saja menyerang ke selatan sampai ke Singasari, ke timur sampai ke Jepang, juga ke barat sampai ke Eropa Tengah.
Setelah Kublai Khan mendirikan pusat kerajaannya di Beijing bajak laut Cina mendirikan diaspora di Palembang. Beijing mengirimkan ekspedisi ke Palembang dan menangkap gembong bajak laut tsb. dan menghukum mati di Beijing, namun diaspora ini justru berkembang, bahkan menghasilkan seorang Jin Bun, yang kemudian menjadi raja Islam pertama di Demak. Percampuran darah dari koloni ini dengan penduduk membuahkan generasi dengan tubuh lebih tinggi dan kulit lebih cerah, menyebar sampai ke wilayah Lampung.
Kalau benar tembong biru pada bayi pertanda ada darah Cina mengalir dalam tubuhnya apakah kerusuhan rasial 1998 masih tetap dapat dikatakan rasial? Ya atau tidak samasekali tidak penting. Setidak-tidaknya kerusuhan tsb. suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, kebiadaban, siapa pun yang melakukannya dan siapa pun kurbannya.
Akhirnya yang timbul hanya pertanyaan bagaimana mengakhiri kejahatan dan kebiadaban terhadap kemanusiaan ini? Saya hanya bisa menyarankan: giatkan penyebaran informasi yang menumbuhkan saling pengertian antara dua belah pihak. Antaranya menyebarluaskan karya Siauw Giok Tjhan dan lain-lain, dan terutama karya Siauw.
Pramoedya Ananta Toer
Jakarta, 6 Oktober 1998

MIAMI, Travel Information


Far from being a centralized metropolis, Miami is a collection of neighborhoods spanning many largely unwalkable miles. Most visitors spend time in Miami Beach, a barrier island that runs parallel to the shoreline and is connected by causeways to the mainland. South Beach, the epicenter of Miami's restaurant and nightlife scenes, is the island's southernmost tip; to the north, Mid-Beach and North Beach stretch with endless condominiums and towering hotels. To the south lies another island, the largely residential Key Biscayne.
Back on the mainland, Downtown Miami is the city's financial zone, where towering skyscrapers dissolve into neighborhoods such as Brickell, the Design District, and Little Havana, home to Calle Ocho and the beating heart of Miami's exile Cuban community. Coral Gables and Coconut Grove, are where you'll find the University of Miami and some of the city's most beautiful Mediterranean architecture, are south of downtown.

WHEN TO GO


The winter months are the most popular in Miami; the temperatures are in the 70s and 80s with low humidity and cool nights. There's also more of a social scene, particularly in early December, when hordes descend for the annual Art Basel Miami Beach art show, and around New Year's Eve, when there are wall-to-wall parties in South Beach. When the rates go down at even the most posh hotels, the summer season is a bargain. But prices include choking humidity and the occasional risk of a hurricane (especially high from June to November).

HOW TO GET THERE


Miami International Airport services both domestic and international carriers and is seven miles from the city's downtown area and about ten miles from the beaches. It's chaotic, crowded, and perennially under construction, so some regulars prefer to fly into Fort Lauderdale airport instead—it's about half an hour's drive from South Beach. Amtrak also has service into Miami from up and down the East Coast and cross-country. The train station is located at 8303 N.W. 37th Avenue in Miami.

GETTING AROUND


Metrobus, the local bus service, runs throughout Miami-Dade County, offering 100 routes, some running 24 hours a day. The county also operates Metrorail, an elevated rail service that runs along a 21-mile track from South Miami and Coral Gables to Northwest Miami, but it generally doesn't go to most places that visitors would (including, inexplicably, the airport). Somewhat more useful is the 4.5-mile elevated rail called Metromover that circles the downtown area and connects with Metrorail at the Government Center stop. In general, though, the best way to get around is by taxi or rental car. Rental-car agencies have offices at the airport and throughout the city, particularly downtown and in Miami Beach. Also, with the exception of Coconut Grove and South Beach, this is a driving city, not a walking city.

TOURIST INFO


Greater Miami Convention and Visitors Bureau
701 Brickell Avenue, Suite 2700
Downtown
Miami 33131
Tel: 305 539 3000

BERNABEU: NIGHT OF GLORIES

BERNABEU: NIGHT OF GLORIES

5/25/2010 5:39:00 PM

Already 56,000 tickets have been sold for the charity match between the Real Madrid veterans and the Milan Glories on Sunday May 30 at the Santiago Bernabeu of Madrid. Many Rossoneri champions present.

(ON THE PHOTO: Milan Glorie and Real Madrid Veteranos on 7 September at San Siro)
MILAN - Tonight Santiago Bernabeu will be the theatres for an important initiative organized by the Real Madrid Foundation 'Corazon Classic Match 2010', for which already 60,000 tickets have been sold. The profits of the match will go for the research project on the sudden death cause of the athletes, a project which has already started being developed at the Clinical San Carlos Hospital. This is the list of Rossoneri players called-up: Franco Baresi, Zvonimir Boban. Simone Braglia, Marcos Cafu, Angelo Carbone, Alessandro Costacurta, Roberto Donadoni, Stefano Eranio, Diego Fuser, Filippo Galli, Gigi Lentini, Paolo Maldini, Daniele Massaro, Cristian Panucci, Jean Pierre Papin, Sebastiano Rossi, Manuel Rui Costa, Serginho, Marco Simone, George Weah, Roberto Lorenzini, Stefano Nava. 
Today's event is a sort of second leg solidarity match like the Trofeo Telecom Italia for the Sla fight, which took place on September 7 2009, where the Milan Glories and Real Madrid Veteranos took part. It was a night of stars and great names, all for Stefano Borgonovo, guest of honour, who went on the pitch amongst the applauses of the people and the friends' embraces, accompanied by Paolo Maldini. The captain took him to the middle of the pitch to allow him to feel the warmth of everyone in a stadium which was just for him.
The match saw the Rossoneri (Arrigo Sacchi on the bench) win 2-0, with the goals of Marco Simone and Diego Fuser, amongst many champions who returned to play for Borgonovo and his family. Amongst others, with the Rossoneri there were Franco Baresi, Mauro Tassotti, Angelo Colombo, Billy Costacurta, Gigi Lentini, Zvonimir Boban, Marco Simone, Filippo and Giovanni Galli, Maurizio Ganz and then them: Marco Van Basten, celebrated by the entire stadium, and George Weah. On the stands also the Milan coach Leonardo, with the general manager Adriano Galliani. For Real: Butragueno, Llorente, Buyo, Sanchis, Gallego and many others. Great referee: Pierluigi Collina who wanted to take part.

www.acmilan.com

THIRD SET OF HENIN MATCH TO RESUME SUNDAY

For the 2nd match in a row, Maria's match has been suspended due to bad light at Roland Garros.  Maria is currently level in sets with #22 seed Justine Henin of Belgium in the 3rd round.  The score was 2-6 6-3 when play was stopped at just after 9 in the evening.

Henin got off to the better start in the first set as she raced into a 4-0 lead and Henin managed to maintain control of the set as she dropped only 2 games to take the set 6-2 in 35 minutes.

The second set was a lot closer than the first as both players held their serve until Maria broke to lead 5-3.  In the next game Maria held to love to take her first set on clay against the 4-time Roland Garros champion when the Belgian hit a forehand error. 

This match will resume on Sunday on Chatrier court and will be the 2nd match and the schedule of play begins at 11.00CET (5.00ET & 2.00PT).

Sign McLaren One-Two finish Rio Create reverberate in Turkey Indonesia Raya

from: Kompas cetak 31 Mei 2010 

McLaren Masuk Finis Satu-Dua
Rio Buat Indonesia Raya Berkumandang di Turki
Senin, 31 Mei 2010 | 04:40 WIB

... Rio juara
Lagu ”Indonesia Raya” berkumandang di Istanbul, Turki, ketika Rio Haryanto, pebalap muda Indonesia keluar sebagai juara race kedua Kejuaraan GP3 Seri II di Sirkuit Istanbul Park. Rio yang start urutan pertama mampu mempertahankan posisi hingga selesai 15 lap.
Sesuai dengan aturan GP3, pebalap yang menduduki posisi delapan pada race pertama, sehari sebelum race kedua, menempati posisi start pertama pada race ke dua. Sabtu (29/5) kemarin Rio finis urutan kedelapan.
”Senang sekali bisa langsung meraih podium utama pada seri kedua ini. Semua itu karena ketepatan pada saat melakukan start. Di samping itu, selama menyelesaikan 15 lap, sama sekali saya tidak mendapat tekanan dari siapa pun,” tutur juara umum Formula BMW Pasific 2009 itu.
Rio hanya sempat mendapat tekanan dari Miki Monras (MW Arden), tidak begitu jauh. ”Tetapi, setelah enam lap selesai, perlahan-lahan jarak saya semakin jauh dari pebalap yang ada di belakang saya dan itu bertahan hingga mencapai 15 lap terakhir,” tutur Rio yang menyelesaikan lomba dengan waktu 27 menit dan 08,058 detik.
Apalagi, lanjut Rio, dia tahu bahwa kendaraan GP3 yang diawakinya itu akan semakin cepat apabila mesinnya makin panas. ”Itu sebabnya, pada lap-lap awal saya tidak langsung menekan gas untuk bisa mencapai kecepatan penuh,” katanya.
Rio juga menambahkan bahwa simulator sirkuit sangat membantu dirinya. ”Tiga minggu sebelum turun di Istanbul, saya sempat mencoba simulator Sirkuit Istanbul Park di Inggris. Memang tidak bisa terasakan kondisi aspal sirkuitnya, tetapi sedikitnya saya bisa lebih kenal dengan semua tikungan yang ada di sirkuit ini,” katanya.
Rio menambahkan, sebelum tampil di seri GP3 Valencia 25-27 Juni, ia akan kembali memanfaatkan simulator sirkuit Valencia. ”Ya, biasanya selama tiga jam, seperti saat mengenal Sirkuit Istanbul Park lalu,” katanya. (Korano Nicolas LMS, dari Istanbul, Turki)
.. Rio champion
The song "Indonesia Raya" reverberated in Istanbul, Turkey, when Rio Haryanto, young Indonesian pebalap out as a champion race two GP3 Championship Series II at Istanbul Park Circuit. Rio to start the first sequence is able to maintain its position until after 15 laps.
In accordance with the rules of GP3, pebalap who occupy the first eight positions in the race, the day before race two, the first starting position in race two. Saturday (29 / 5) yesterday Rio finish eighth.
"It was good to directly reach the main podium in this second series. All because the accuracy at the time of start. In addition, during the complete 15 laps, I did not get pressure from anyone, "said general Formula BMW Pacific Champion in 2009's.
Rio only got to get pressure from Mickey Monras (MW Arden), not so much. "But, after six laps completed, slowly I am getting far distance from the existing pebalap behind me and it lasted until reaching the last 15 laps," said Rio who completed the race with a time of 27 minutes and 08.058 seconds.
Moreover, continued the Rio, he knew that the vehicle diawakinya GP3 that will more quickly if the engine getting hot. "That's why, at the beginning of my cloths are not directly hit the gas to reach full speed," he said.
Rio also added that the circuit simulator is helping him. "Three weeks before the fall in Istanbul, I had tried the simulator Istanbul Park Circuit in England. It can not be felt asphalt circuit conditions, but at least I get more familiar with all corners on this circuit, "he said.
Rio added, before appearing in the series GP3 Valencia June 25 to 27, he will be to exploit the Valencia circuit simulator. "Yes, usually for three hours, such as familiar with the Istanbul Park Circuit ago," he said. (Korano Nicolas LMS, from Istanbul, Turkey)

BOGOR CITY WITHOUT CIGARETTES

BOGOR CITY WITHOUT CIGARETTES
liputan6.com, Bogor: City Government of Bogor, West Java, will declare themselves to be without a smoking area. "Tomorrow, the day coincides with World No tobacco, the city of Bogor will be declared as an Area Without a Cigarette," said Head of Community Health Empowerment Bogor Rubaeah City Health Department, on Sunday (30 / 5).
According Rubaeah, the declaration would involve 400 to 500 people and begins with the morning muster at City Hall with the leaders of Bogor Bogor Mayor Diani Budiarto. After that, the team deployed to the Bogor Botanical Gardens for the public dissemination of Local Regulation on KTR and Perwali number 17 year 2010 about the KTR.
Furthermore Rubaeah say, through the Bogor declaration formally enact legislation so that smokers who remains caught smoking in eight areas will be subject to sanctions KTR. The eight areas are smoke free public places, offices, schools, places of worship, transportation facilities, sports facilities, entertainment venues and places health.
Rubaeah adding the first phase of the punishment is administrative penalties. Three times in a row caught doing the same mistake will be subject to minor criminal witnesses. For people who caught violating will be fined a minimum of USD 100,000 and USD 50,000. "While the technical officials who allow smoking employees will be subject to imprisonment for three days," he explained. (FRI / Ant)

 

Bogor Jadi Kota Tanpa Rokok

Liputan6.com, Bogor: Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, akan mendeklarasikan diri menjadi kawasan tanpa rokok. "Besok, bertepatan dengan hari Tanpa Tembako Sedunia, Kota Bogor akan mendeklarasikan sebagai Kawasan Tanpa Rokok," kata Kabid Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bogor Rubaeah, Ahad (30/5).
Menurut Rubaeah, deklarasi akan melibatkan 400 hingga 500 orang dan diawali dengan apel siaga pagi di Balaikota Bogor dengan pimpinan Wali Kota Bogor Diani Budiarto. Setelah itu, tim disebar ke Kebun Raya Bogor untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Peraturan Daerah tentang KTR dan Perwali nomor 17 tahun 2010 tentang KTR.
Lebih jauh Rubaeah mengatakan, lewat deklarasi itu Bogor secara resmi memberlakukan Perda KTR sehingga perokok yang kedapatan merokok di delapan kawasan KTR akan dikenai sanksi. Kedelapan kawasan KTR itu adalah tempat umum, perkantoran, sekolah, tempat ibadah, sarana transportasi, sarana olahraga, tempat hiburan dan tempat kesehatan.
Rubaeah menambahkan hukuman tahap pertama adalah sanksi administrasi. Tiga kali berturut-turut kedapatan melakukan kesalahan sama akan dikenai saksi tindak pidana ringan. Bagi masyarakat yang kedapatan melanggar akan didenda Rp 100.000 dan minimal Rp 50.000. "Sedangkan pejabat teknis yang membiarkan pegawainya merokok akan dikenai hukuman penjara selama tiga hari," jelasnya.(JUM/Ant)

blogger templates | Make Money Online