SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA:
Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?
Seberapa Jauh Bahaya Bacaan?
Pramoedya Ananta Toer *)
Saya warganegara Indonesia dari ethnik Jawa. Kodrat ini
menjelaskan, bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang
didominasi oleh sastra wayang, lisan mau pun tulisan, yang
berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, serta
kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada
kewibaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari
mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-
kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali. Pekerjaan pokok
kasta satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang
agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria,
yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan
para raja menjadi mitos yang fantastik.
Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan
Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer
terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah
mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan
kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional.
Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi
Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih
menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mytos ini
melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram
beristerikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan
berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan
asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa
disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan
kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi
batin rakyat Mataram.
Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungan dengan
negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan
kastanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya
adalah menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang
tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik
daripada yang sekarang. Pendapat ini yang membuat saya
meninggalkan sama sekali sastra demikian.
Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan
berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, sejauh pengalaman saya,
langsung saya bertemu dengan sastra hiburan, memberikan umpan
pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan
Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung
keekuasaan agar masyarakat tak punya peerhatian pada kekuasaan
negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak
mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa
pembacanya berhenti di tempat.
Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang
kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai
sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi
tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya
tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai
baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu
dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa
dan penggunaannya dianggarkan pada orientasi baru peranan
individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan
ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi.
Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap
dan sitiuasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat
individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari
sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan
kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai
individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak. Sampai di
sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevalusi
kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena
pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan,
bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah
melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah
dikatakan pengarang - dengan sendirinya dari golongan ketiga ini
- dinamai opposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang
diri dalam kebisuan.
Di negara-negara dengan kehidupan demokratis beratus tahun kalah-
menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan
berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis
di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang
dijajahnya. Sebagai akibat di negeri-negeri jajahannya yang tak
mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa
dilahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional
tentang gengsi pribadi dan panutan patrimonial.
Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade
kedua abad ini. Sebelumnya atas karya sastra sensor lebih banyak
ditujukan pada mass-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum
tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan.
Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco
Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum,
dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat-
setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial
Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya
itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah
dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.
Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan.
Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim terdesak
kekuatan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa
yang agraris kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi
petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot.
Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "teposliro" (tahu diri),
kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai
dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai
pada puncak kekuasaan. Penggunaaan eufemisme (= Jawa : kromo)
sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan
menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam
sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi.
Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang
kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra
Indonesialah sensor kekuasaan bisa terjadi.
Idea-idea dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat
modern Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin
dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa.
Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat
tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya lembaga sensor
memang perlu diadakan.
Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang
menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia di Jawalah
penduduknya berkembang sebagai faktor-faktor klimatologis yang
mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis
Belanda membuat Jawa jadi pusat imperium dunianya di luar Eropa.
Dengan kepergiannya, masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan
penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah
budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat
dihindarkan. Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa
menekan ini adalah "tepo-sliro", kehidupan kekuasaan sekarang
dinamai dengan bahasa Inggris "self-cencorship". Nampaknya elit
kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi
salah satu faset dalam kehidupan modern Indoensia bagaimana orang
menyembunyikan atavitas/atavisme.
Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam
sastra avant garde. Saya nilai pengarangnya mempunyai keberanian
mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan.
Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus
menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang
merasa terancam kemapanannya.
Jadi sampai seberapa jauh karya sastra dapat berbahaya bagi
negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini
cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia
ditulis dengan nama jelas, diketahui dari mana asalnya, dan juga
jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki
barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia
hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan
pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan
kekenyalannya.
Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar
sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant garde. Perubahan
demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian
demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah
tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan
peralihan pendudukan militeristis Jepang. Dalam masa demokrasi
liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila yang tak
banyak acuhkan, dalam masa demokrasi terpimpin, sewaktu Presiden
Soekarno dengan segala konsekuensinya hendak mandiri dan
mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingin para
adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat. Soekarno
sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa
pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen,
Declaration of Independence Amerika Serikat, dan Manifes Komunis
dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang
ditandai dengan gerakan de-Soekarnoisasi, rujukan-rujukan
Pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada
upaya dari seorang sejarawan orde baru yang mebuat teori bahwa
pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan
ini tidak pernah terbukti ada karya sastra yang memberikan
pengaruhnya. Dan memang sastra avant garde praktis belum pernah
lahir. Karya-karya sastra Indonesia praktis baru bersifat
deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir itu terjadi
semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang
terjadi sama kerasnya dengan penindasannya. Individu tersebut,
Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang
jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai
binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah
Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang
harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan
menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironisnya
masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak
tersebut dan umumnya tak dikaitkan dengan masa pendudukan
militeris Jepang waktu ia menciptakannya.
Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya
percaya bicara tentang sastra mana pun adalah juga bicara -walau
tak langsung- tentang sastra regional dan internasional
sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang
individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang
mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman
ummat manusia.
Berdasarkan historinya Indonesia memerlukan sebarisan besar
pengarang dari golongan avant garde. Berabad lamanya rakyat bawah
membiayakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme mereka
kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau
feodalime sebagai suatu sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi
kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elit
kekuasaan mencoba melestarikannya. Sstra avant gardelah yang
menawarkan evaluasi, reevalusi, pembaruan, dan dengan sendirinya
keberanian untuk menanggung resikonya sendirian.
Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali
tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti
dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant garde hanya
mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkaran elit kekuasaan,
yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa
terlepas.
Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan
sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan
nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya
selama 35,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun
dirampas kekuasaan militer semasa orde lama, dan 30 tahun semasa
orde baru, diantaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16
tahun sebagai ternak juga hanya dengan kode ET, artinya tahanan
di luar penjara. Sebagai pengarang barang tentu saya berontak
terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba
berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan
mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini?
Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas
permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya
tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai
lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan.
Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat
dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut
pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat,
apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa
seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi suatu
kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang
mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik.
Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada
kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak
bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan ummat
manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang
mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan
dengan politik.
Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra
harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di
tangan dan dari hati politisi yang kolot. Kalau ada yang kotor
barang tentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sastra
sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari
pikiran para pengarang yang politiknya adalah tidak berpolitik.
Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian,
ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan
selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana
eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang
"menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang
yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.
* Pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika menerima ia
penghargaan Magsaysay, di Manila,
penghargaan Magsaysay, di Manila,
0 Comments:
Post a Comment